DATAJAMBI, Jambi– Eskalasi konflik agraria masih masih masif di Provinsi Jambi. Kondisi ini menghantarkan Provinsi Jambi pada posisi kedua tertinggi konflik agraria.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jambi pada Tahun 2022 setidaknya mencatat sebanyak 156 kasus konflik agraria yang belum terselesaikan dan korbannya adalah para petani yang lahannya dikuasai koperasi (perusahaan).
Direktur Eksekutif WALHI Jambi, Abdullah mengatakan untuk saat ini pihaknya sedang memprioritaskan 26 wilayah yang berkonflik dengan perusahaan di Provinsi Jambi.
“Untuk saat ini prioritas kami ada sebanyak 26 wilayah, baik desa maupun kelompok tani,” ungkap Abdullah saat dihubungi via whatsapp pada Selasa, 24 Oktober 2023.
Adapun 26 wilayah yang dimaksud tersebar di Kabupaten Sarolangun, Tebo, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Kota Jambi.
“Untuk Kota Jambi sendiri kita sedang mengawal isu stockpile,” terangnya.
Saat ditanya soal adanya kemungkinan dari 26 wilayah konflik tersebut yang bisa diselesaikan dalam waktu dekat, Abdullah mengatakan yang berkenaan dengan isu konflik Hutan Tanaman Industri (HTI) wilayah yang diadvokasi sudah mengerucut pada penyelesaian.
“Di isu konflik HTI mengerucut pada skema penyelesaian, akan tetapi masyarakat dan kelompok memilih jalan advokasi pengurangan izin. Kemudian disambut oleh Gubernur untuk mendorong pelepasan kawasan di wilayah yang berkonflik , tentunya dengan kajian yang lebih objektif dan verifikasi subjek dan objeknya,”terang Abdullah.
Abdullah juga menjelaskan bahwasanya untuk tahun 2023 ini, semua wilayah yang didampingi sudah dalam tahap proses.
“Sepanjang 2023 ini belum ada yang selesai.Akan tetapi sudah berproses, pertemuan para pihak mengarah pada penyelesaian konflik,” ucapnya.
Akan tetapi, kata Abdullah skema yang ditawarkan perusahaan tidak diterima oleh masyarakat atau kelompok tani, diantaranya kemitraan, tukar guling dan talih asih.
Abdullah menuturkan penyelesaian dihalangi oleh adanya regulasi yang dibuat pemerintah yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat.
“Upaya penyelesaian sulit diselesaikan karena adanya perbedaan pandangan dan kesepakatan untuk penyelesaian dan mengakhiri konflik , perusahaan selalu mengacu pada regulasi, pemerintah terkesan kaku dan jauh dari kata mengakomodir apa yang jadi keinginan rakyat,” pungkasnya.