DATAJAMBI, Jambi – Kantor Inspektur Tambang Kementerian ESDM Perwakilan Provinsi Jambi digembok dan ditutupi spanduk oleh sejumlah massa dari Perkumpukan Hijau yang melakukan demonstasi pada Senin, 1 April 2024.
Hal ini disebabkan oleh Inspektur Tambang KESDM tersebut yang dinilai tidak berguna menghadapi para mafia tambang di Provinsi Jambi. Bahkan Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menilai Inspektur Tambang sudah menyerupai preman tambang.
Feri Irawan mengungkap sejumlah temuannya pada areal pertambangan di daerah Koto Boyo, Batanghari. Di sana Feri menyebut perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara milik keluarga Senangsyah telah menghancurkan kehidupan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD).
Ada 9 kelompok orang rimba yang tinggal di konsesi PT SDM: Minang, Nyenong, Ngelembo, Ngelambu, Girang, Menah, Jelitai, Meraman, Nguyup. Totalnya lebih 1.000 orang. Konflik dengan SDM membuat mereka tersingkir.
Semua berawal dari perusahaan perkebunan sawit PT Sawit Desa Makmur (SDM) milik keluarga Senangsyah. Perusahaan ini mendapatkan izin HGU pada tahun 1997 di Kabupaten Batanghari.
Namun, PT SDM telah mulai menanam sawit sejak 1991. Akibat pembukaan perkebunan sawit, SAD di Batanghari kehilangan sumber penghidupan dan budaya mereka perlahan dibinasakan.
Puluhan makam dan tanoh pranaon yang sakral bagi SAD sengaja dihancurkan untuk perkebunan kelapa sawit. Ratusan pohon pusaka juga ikut ditumbang. Keluarga Senangsyah justru hidup bergelimang harta di Bali dan Australia.
Pemerintah Kabupaten Batanghari dan Gubernur Jambi berkali-kali meminta agar izin HGU PT SDM dicabut. Pada 7 September 2020, Gubernur Jambi Fachrori Umar meminta BPN Provinsi Jambi agar mencabut izin PT SDM karena terbukti terlantar.
Surat Gubernur Jambi itu merupakan tindak lanjut dari surat Bupati Batanghari, Syahirsah yang dikirim 30 Juli 2020, dan surat dari kepala desa Hajran, Sungai Lingkar, Mata Gual, Sungai Lingkar, Koto Boyo, Padang Kelapo dan Sungai Ruan yang mendesak agar izin HGU SDM direvisi.
Tetapi permintaan itu tak digubris. Sampai sekarang PT SDM tetap menguasai izin HGU seluas 14.225 hektare meski tak semua izin HGU-nya digarap. Padahal dalam aturan pemanfaatan area Hak Guna Usaha (HGU) Undang-undang Nomor 39 tahun 2014 bagian b. yaitu perusahaan wajib paling lambat 6 (enam) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, perusahaan perkebunan wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami perkebunan.
Jika lahan perkebunan tidak diusahakan dalam ketentuan sebagaimana yang dimaksud. Bidang pertanahan yang belum diusahakan diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konflik SAD semakin kompleks setelah 7 perusahaan tambang batubara ikut mendapatkan izin dari Kementerian ESDM untuk menambang di lokasi HGU PT SDM. Berdasarkan Minerba One Map Indonesia, 7 perusahaan tambang itu yakni PT Tambang Bukit Tambi, PT Bumi Makmur Sejati, PT Batu Hitam Sukses, PT Batu Hitam Jaya, PT Bumi Bara Makmur Mandiri, PT Kurnia Alam Investama dan PT Alam Semesta Sukses Batu Bara.
Lima dari tujuh perusahaan itu dimiliki Rizal Senangsyah, yang tak lain adalah saudara Andi Senangsyah, Direksi PT SDM. Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia, Rizal Senangsyah memegang 99% saham PT Batu Hitam Sukses, PT Batu Hitam Jaya, PT Bumi Bara Makmur Mandiri, PT Kurnia Alam Investama dan PT Alam Semesta Sukses Batu Bara.
Dengan akal-akalan keluarga Senangsyah, HGU PT SDM yang terlantar, akan semakin sulit dicabut, karena telah dikapling-kaping untuk bancakan tambang batu bara.
Kuat dugaan sawit PT SDM sengaja mengulur waktu agar izinnya tidak dicabut sampai dengan tambang batu bara berproduksi.
Berdasarkan pemberitaan Mongabay Indonesia berjudul “Orang Rimba di Tengah Himpitan Perkebunan Sawit dan Tambang Batubara” menyebut empat perusahaan tambang batu bara milik Rizal Senangsyah yakni PT Batu Hitam Sukses, PT Batu Hitam Jaya, PT Bumi Bara Makmur Mandiri dan PT Alam Semesta Sukses Batu Bara menjadi pemasok PLTU PLN di wilayah Jawa.
“Pemerintah telah mengorbankan kehidupan Orang Rimba demi listrik di Jawa bisa terus menyala,” kata Feri Irawan.
Sementara tambang batu bara membuat kehidupan orang rimba semakin sengsara. Berbagai penyakit kini muncul akibat dampak dari tambang batu bara.
Pencemaran sungai akibat aktivitas tambang batu bara telah menyebabkan kematian anak-anak rimba. Pada 2019, lima anggota kelompok Tumenggung Minang meninggal akibat mengkonsumsi air yang diduga tercemar limbah dari aktivitas tambang batu bara.
Anggota kelompok Tumenggung Ngelembo juga jadi korban. Bukan hanya itu, aktivitas angkutan tambang batubara juga telah memakan korban. Satu orang kelompok Tumenggung Mena, meninggal ditabrak angkutan batu bara. Jalan berdebu juga membuat banyak SAD sesak napas.
Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan mendesak Menteri ATR/BPN mencabut izin HGU PT SDM karena terbukti terlantar.
“Kami juga minta menteri ESDM mencabut izin tambang di wilayah HGU SDM, karena itu ruang hidup Suku Anak Dalam. KPK RI juga perlu memeriksa pejabat Pemprov Jambi karena ada dugaan kolusi izin dengan para pemilik dan pelaku tambang,” katanya.
Gubernur Jambi Al Haris harus bertindak tegas dengan menindaklanjuti surat rekomendasi Gubernur Jambi sebelumnya, Fachrori Umar yang meminta BPN Provinsi Jambi mengevaluasi izin HGU PT SDM.
“Kalau Gubernur sekarang diam dan membiarkan masalah ini berlarut, patut kita curigai, ada apa?” kata Feri.
Menurutnya, sebagai kepala daerah, Gubernur Jambi merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat harus bersikap tegas.
“Jangan biarkan masyarakat menderita, hanya karena pemerintah mendapatkan pendapatan daerah dari tambang batu bara dan sawit,” katanya.
Feri pun meminta agar semua izin tambang batu bara di Jambi dievaluasi, terutama tambang batu bara di wilayah Koto Boyo yang telah menghancurkan ruang hidup SAD.
“Kita juga minta Inspektur Tambang, yang seharusnya mengawasi tambang di Jambi dibubarkan, karena tidak ada gunanya. Mereka hanya datang ke tambang seperti preman,” katanya.
Sementara Tumenggung Jelitai, kelompok Orang Rimba di Padang Kelapo yang ikut jadi korban PT SDM mengatakan akibat konflik berkepanjangan, kelompoknya pindah ke wilayah Sungai Geger, tetapi konflik dengan PT Adimulia Palmo Lestari – perkebunan sawit.
Sebagian menempati pemukiman yang dibangun pemerintah di wilayah Padang Kelapo, tetapi banyak yang tak betah.
“Sekarang kemano kami nak pindah, semua sudah masuk izin PT. Wilayah kami itu sudah tidak ado lagi. Sekarang kami tekepung,” katanya.