DATAJAMBI, Jambi – Peluang Bank Jambi memenuhi target modal senilai Rp 3 triliun hingga batas tahun 2023 sangat tipis. Konsekuensinya, jika nilai modal ini tak terpenuhi maka status Bank Jambi akan turun menjadi Bank Perkreditan rakyat (BPR). Target minimum ini mengacu pada Peraturan OJK 12 tahun 2020 tentang konsolidasi bank umum. Beleid ini mewajibkan perbankan memiliki modal inti Rp 1 triliun di 2020, lalu naik Rp 2 triliun di 2021 dan Rp 3 triliun pada 2022.
Bank Jambi yang menggantungkan nasibnya pada suntikan dana Pemerintah Provinsi Jambi terbentur dengan Undang-undang. Pemprov tidak boleh menambah atau menyuntik modal ke bank yang sudah berbentuk Perusahaan Terbatas (PT). Aturan tersebut termaktub dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang penyertaan modal pemerintah daerah.
Jika nekat menabrak aturan ini, Ketua DPRD Provinsi Jambi menyebut, siapa pun yang menyetujuinya maka bersiaplah masuk penjara. “Sudah jelas melanggar undang-undang. Bisa dipenjara semua kalau kita nanam modal lagi di Bank Jambi,” kata Ketua DPRD Provinsi Jambi Edi Purwanto pada Minggu, 13 Februari 2022.
Akhir tahun lalu, Pemprov Jambi mengajukan usulan penambahan modal ke Bank Jambi, namun anggota dewan tidak serta merta setuju, ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju.
Bukan tanpa alasan, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang penyertaan modal pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2017 tentang BUMD menjadi dasarnya.
Dalam aturan tersebut, pemerintah daerah hanya boleh menyertakan modal pada badan usaha milik negara (BUMN) dan atau badan usaha milik daerah (BUMD).
“Sedangkan Bank 9 Jambi pada tahun 2006 lalu sudah berbentuk PT swasta murni. Sehingga tidak bisa lagi disuntik modal oleh pemerintah daerah. Baik Pemprov maupun Pemkab-pemkab. Kalau nekat, ya, siap-siap saja dipenjara bagi semua yang menyetujui itu,” ujarnya dengan tegas.
Oleh sebab itu, DPRD Provinsi Jambi mengajukan rekomendasi agar Pemprov Jambi segera mengubah Bank Jambi menjadi BUMD atau Persero Daerah.
“Dengan begitu, barulah Pemprov Jambi dan Pemkab-pemkab di Provinsi Jambi dibolehkan menanam modal ke Bank Jambi,” tuturnya.
Setelah status berubah, maka Pemerintah Provinsi bersama dengan Pemerintah Daerah dari 9 Kabupaten dan 2 Kota di seluruh penjuru Jambi dapat menanamkan modal di Bank Jambi.
“Kami sudah mengeluarkan rekomendasi agar Pemprov sesegera mungkin mengubah administrasi perusahaan Bank Jambi, dari PT menjadi BUMD atau Perseroda. Jadi kalau sudah jadi BUMD, Pemda legal menanam modal. Kalau belum, ya, melanggar undang-undang namanya,” kata Ketua DPRD Provinsi Jambi yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Jambi ini, lagi.
“Misalnya nanti jadi PT Perseroda Bank Jambi, ini baru tepat. Kami mendesak agar Pemprov sesegera mungkin mengubah legalitas perusahaan Bank Jambi, semakin lama diproses, semakin lama uang rakyat mengambang di bank itu,” katanya.
Menurutnya, satu-satunya cara adalah menarik modal lalu menanam modal lagi kalau Bank Jambi sudah berbentuk BUMD atau perusahaan daerah.
“Tapi kalau perusahaan daerah, Pemprov Jambi harus punya saham 51 persen di Bank Jambi. Nah kalau sekarang, baru 22 persen dari total investasi. Kan jadi serba salah. Mau nambah lagi, tak boleh oleh aturan, karena Bank Jambi ini PT swasta. Mau enggak mau harus ganti dulu legalitas perusahaannya, baru bisa nambah modal,” ucap Edi.
Kembali ke Zaman Jahiliyah
Direktur Utama Bank Jambi, Yunsak El Halcon dalam Forum Nasional bertajuk Tantangan Agen Pembangunan Daerah Pasca Covid-19 pernah berkomentar. Ia mempertanyakan relevansi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 tahun 2017 bagi kemajuan bank pembangunan daerah (BPD).
“Pemberlakuan PP tersebut dinilai dapat mengembalikan industri BPD ke zaman jahiliyah,” ujar El Halcon mengutip situs resmi bank jambi.
Anehnya, di tengah hiruk pikuk investasi yang tak jelas itu, Bank Jambi dengan Direktur Utamanya El Halcon, malah membangun gedung megah yang diberi nama Mahligai 9. Langkah ini dinilai mendahulukan urusan seremonial ketimbang hal yang fundamental. Terlebih soal masa depan Bank Jambi sendiri.