Ia lebih suka film realistis ketimbang mengandalkan efek visual. Ia percaya pula film bisa menjadi terapi, bikin orang sehat dan bahagia.
SEUMUR hidup, baru kali ini ia menyaksikan secara langsung Festival de Cannes, salah satu Festival Film terbesar di dunia. Festival film yang sudah berusia 74 tahun itu sempat berjeda di tahun 2020. Tahun ini baru bergulir kembali. Ia berangkat ke Cannes, Prancis pada 10 Juli 2021.
Rendro memulai penerbangan dari Benua Biru pulang ke Indonesia pada 21 Juli 2021. Selama sekitar 18 jam di angkasa, ia mendarat di Jakarta 22 Juli 2021.
Belum hilang penatnya, kabar gembira menghampiri.
Dalam festival itu, filmnya tidak berada di kompetisi utama namun berada di Short Film Corner. Yaitu sebuah wadah berjejaring antar pembuat film pendek Internasional.
Sebenarnya, terselip harap karyanya bisa masuk nominasi dan menang di Festival deCannes. Ternyata, kabar gembira justru datang dari benua lain.
“Alhamdulillah film pendek yang saya sutradarai, berjudul “Cerita Keluarga” meraih 2 penghargaan dalam ajang Accra Indie Film Festival, di Benua Afrika, Ghana. Film itu mendapat Best Narrative Short Film dan Best Screenplay,” katanya bahagia.
Rendro mengisahkan, semenjak kecil ia suka menonton film. Mulai dari kartun, film klasik, dan film-film modern dengan kecanggihan visual efeknya.
Sejak SD ia sudah membaca komik biografi Walt Disney. Ia tertarik tentang kartun dan gambar yang bisa bergerak dari kumpulan beberapa gambar. Semasa itu ia sangat ingin menjadi pembuat film kartun. Ia membuat flipbook dan membuat gambar-gambar itu seolah hidup.
“Dahulu saya terpukau dengan canggihnya visual efek film aksi luar negeri. Tapi semakin ke sini, ada sedikit pergeseran. Saya lebih suka menonton film realistis tentang kehidupan. Ketika menontonnya membuat kita bisa merenung panjang. Artinya, film itu bisa menjadi titik balik perubahan dalam hidup seseorang,” ujar Rendro kepada detail.id pada Sabtu 31 Juli 2021.
Sejak itu pula, kini ia lebih suka menggarap film-film pendek tentang kehidupan. Tentang beragam hal yang dekat dengan realitas. Ia lebih suka dengan sesuatu yang sederhana namun mengena.
Kisah Masa Sekolah
Sewaktu SMP, ia pernah meminjam ponsel temannya untuk merekam video. Saat itu ia sudah mulai bereksperimen membuat video singkat. Ia rekam temannya lalu ia tekan ‘pause’, kemudian ia ganti objek rekam menjadi sapu. Eksperimen lucu-lucuan itu kian memacu jiwa filmnya.
Sewaktu SMA ia sudah punya peralatan fotografi dan videografi. Setiap saat ia memotret dan merekam.
“Zaman itu pakai handycam dengan resolusi 360p. Itu sudah ‘wah’ waktu itu. Saya merekam apapun, bahkan membalik lensa kamera ke arah wajah sendiri, saat itu belum dikenal istilah vlog. Tapi saya sudah melakukannya,” kata Rendro.
Teman-teman yang mengenalnya tentu tahu aksinya yang nyentrik waktu itu. Ia mulai merekam aktivitas dunia malam, balap liar yang sering berlangsung di depan kantor gubernur. Mulai mewawancarai pramuria. Rasa ingin tahu yang tinggi menuntunnya untuk mengabadikan segala hal.
Ia sempat mengkritisi kondisi teman-temannya yang menyalahgunakan telepon genggamnya. Alat komunikasi yang semakin canggih itu cuma dipakai untuk bermain game dan saling berkirim film tak senonoh. Ia pernah mengajak teman-temannya menonton film serius, pemenang Festival Film Indonesia dan pemenang Oscar untuk medium belajar.
“Saya buat video parodi pendek mengajak teman-teman. Saya senang berbagi video parodi karya sendiri. Waktu itu zamannya saling kirim file lewat bluetooth,” tutur pemuda kelahiran 5 Oktober 1993 itu.
Puncak karyanya sewaktu SMA ialah pemutaran film dokumenter tentang SMA-nya. Beberapa potret dan rekaman aktivitas selama sekolah ia kumpulkan. Ia rekam aktivitas belajar, aktivitas ekstrakurikuler, bahkan kenakalan anak sekolah pada waktu itu. Kabur dari sekolah hingga merokok pun ada di film pendek dokumenter itu.
Namun sayang, ketika hendak ditayangkan, pihak guru mengetahui ada beberapa bagian memuat kenakalan remaja saat itu film hampir tidak tayang. Setelah berdialog, disepakati bahwa film pendek dokumenter itu boleh ditayangkan dengan syarat bagian yang tidak diperbolehkan itu dipotong.
Gerak cepat, dengan menggunakan windowsmoviemaker yang saat itu cukup memakan waktu untuk rendering, ia memotong bagian tersebut. Film dokumenter itu jadi bisa tayang. Tapi, lagi-lagi ada masalah. Karena kendala teknis, suaranya tidak keluar.
“Film itu jadi film bisu yang berwarna. Tapi tetap seru. Sewaktu muncul tulisan ‘semoga semua anak kelas 3 lulus semua’, semua hadirin di acara perpisahan itu mengamini ramai-ramai. Begitu juga ketika muncul tulisan ‘semoga kelas 1 dan 2 semua naik kelas’ Semua penonton mengamini juga. Ini jadi kepuasan tersendiri,” kata Rendro sembari tertawa kecil mengingat kejadian waktu itu.
Kuliah Hingga Menang Berbagai Festival
Masa ia mengenyam bangku SMP, pemutaran video masih menggunakan VCD. Ketika SMA sudah mulai berubah menjadi DVD. Ia rutin menyewa VCD dan DVD original film-film terbaru. Kadang ia menonton bersama keluarga, kadang ia ajak teman-teman untuk menonton.
Selulusnya dari SMAN 11 Kota Jambi, ia langsung mendaftar kuliah di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV IKJ).
Sambil kuliah ia juga bekerja freelance. Ia menggarap beberapa proyek video iklan, video korporasi bahkan sekadar jadi videografer pernikahan. Ia jalani pula walau berproses menjadi kru film. Baginya, itu menjadi bagian perjalanan untuk tumbuh dan berproses.
“Ada proyek untuk mencari pemasukan. Tapi ada yang memang saya garap untuk menuangkan ide-ide dan passion saya dalam film. Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, saya lebih suka film realistis. Walaupun tidak menutup kemungkinan membuat film-film yang lebih menantang di kemudian hari,” katanya.
Bersama dengan teman-teman kuliahnya, ia membentuk komunitas produksi dan diskusi film. Di kontrakan bersama teman-temannya di Kwitang, Jakarta Pusat, mereka membuat komunitas Beragam Film. Di sana mereka saling berbagi dan mengasah kemampuan masing-masing.
“Sekarang, kawan-kawan di komunitas itu ada yang masih menggeluti dunia film, ada yang sudah pindah haluan. Saya memilih konsisten, meski menyusuri jalan sunyi. Merintis sebagai sutradara film independen dan membuat film-film pendek, barulah nanti membuat film panjang,” ujarnya.
Rendro sudah mengumpulkan beragam penghargaan sejak kuliah. Film-film pendek yang ia garap, ia ikutkan dalam festival film tingkat nasional dan internasional.
Film pendek berjudul “Bocah Kebon” tahun 2014 meraih OfficialSelection dalam ajang Balinale International Film Festival 2015 di Bali dan OfficialSelection dalam ajang JogjaNetpac Asian Film Festival 2015.
Lalu, ada film pendek yang ia garap bersama adiknya, Regan juga bersama kedua orang tuanya. Dalam film pendek berjudul “Film Adalah Hidupku” itu ia merangkap pula sebagai aktor bersama keluarganya. Film pendek itu pun meraih berbagai penghargaan.
Di Malang meraih Film Pendek Fiksi Mahasiswa Terbaik – dalam 11th Malang Film Festival 2015. Ia pun dianugerahi Aktor Terbaik di Lampung Film Festival 2015. Selain itu, “Film Adalah Hidupku” juga meraih OfficialSelection – Pesta Film Solo 2015 di Solo, Official Selection – UI Film Festival 2015 di Jakarta, Official Selection – Sewon Scereening Film Festival 2015 di Jogjakarta, OfficialSelection – Festcil 2016 di Surabaya.
Perjalanannya masih panjang. Ia sudah menjajaki langkahnya dalam ajang Festival Film Internasional. Ia berharap industri film Indonesia bisa lebih baik dari segala segi. Baik itu secara kualitas maupun apresiasi berbagai bentuk film.
“Sebaiknya film maupun sinetron mulai berbenah. Mestinya cerita dan drama yang dibuat lebih realistis sehingga lebih dekat dengan kondisi realitas. Selain itu jangan mengabaikan pesan kehidupan dan makna,” katanya.
Ia juga merasa perlu ada perbaikan dalam lembaga sensor film. Rasanya tak perlu menyensor film kartun di televisi secara berlebihan. Hal tersebut justru memicu rasa penasaran anak-anak dan mencarinya dalam dunia maya. Alhasil, mereka malah menemukan hal yang aneh-aneh nantinya.
“Gunakan kemajuan teknologi untuk aktivitas kreatif,” begitu pesannya untuk generasi muda.
Ia menerapkan 3K; Kreatif, Konsep, dan Konsisten. Ketekunan dalam berkarya harus melalui proses yang panjang dan kadang berliku. Dengan begitu, kesuksesan yang dicapai akan terasa manis pada saatnya.
Film pendeknya yang berjudul Guna Guna tahun 2015 pun menembus OfficialSelection – Light of Asia competition, di 10th JogjaNetpac Asian Film Festival 2015, Kemudian di tahun 2016 menjadi OfficialSelection – 5th Ganesha Film Festival di Bandung, OfficialSelection – 4th XXI Short Film Festival 2016, di Jakarta dan Official Selection – Indonesia Raja 2016.
Film pendek terbaru yang disutradarainya Cerita Keluarga juga berkelana ke berbagai Festival Film Internasional di masa pandemi di tahun 2020 dan tahun 2021. Film Pendek Cerita Keluarga telah tayang di berbagai Festival Film Internasional.
Di antaranya di 12th Austin Asian American Film Festival 2020 di Austin, Amerika Serikat. Kemudian di 40th VGIK International Student Film Festival 2020 di Rusia. VGIK adalah Sekolah Film pertama di dunia dan VGIK International Student Film Festival merupakan salah satu Festival untuk Mahasiswa Film tertua di dunia. Film ini juga mendapatkan penghargaan Best Student Short Film dari 3rd Benin City Film Festival di Nigeria, Afrika. Film Pendek Cerita Keluarga juga telah ditayangkan di puluhan Festival Film Internasional lainnya.
Ingatan masa kecil Rendro melintas deras ketika menapaki tempat kelahirannya. Langkah kakinya perlahan menyusuri kenangan indahnya sewaktu menonton film klasik Indonesia bersama ayah dan ibunya. Sejak saat itu, ia mulai jatuh cinta dengan dunia sinema. Setiap bulan di hamparan lapang Pulau Burung, Indragiri Hilir, Riau itu diputar film layar tancap.
Ditemani ayahnya, ia menyusuri tempat yang kini tak pernah lagi ada layar tancap. Sembari berjalan, ayahnya pun bercerita kenangan yang sama. Dahulu, jika tak ada layar tancap maka film bisa disaksikan melalui televisi. Hanya ada satu televisi yang ditonton ramai-ramai warga sekampung.
Tekad Rendro Aryo bulat untuk menekuni dunia sinema. Ia pun mengutarakan pada sang ayah sewaktu masih SMA. Sempat terjadi perdebatan kecil dengan sang ayah.
“Dahulu Bapak pernah bilang, kenapa tidak jadi dokter saja. Supaya bisa mengobati banyak orang,” kata Rendro ketika berbincang dengan sang ayah, mengulas kembali kenangan masa silam.
“Ya Bapak ingat,” ujar ayahnya.
Ia pun meneruskan. “Aku waktu itu bilang, aku mau menyembuhkan orang sakit tanpa obat.”
Ayahnya mengangguk setuju. Mereka akhirnya sepakat, bahwa melalui film bisa menjadi semacam terapi. Ketika orang lain bisa menonton film lalu bahagia, maka ia akan sehat.
Obrolan ringan mereka di tempat penuh kenangan itu ia abadikan dalam sebuah video yang dipublikasikan melalui Channel Youtube-nya.
Reporter: Febri Firsandi