DATAJAMBI, Jakarta – Urusan tarif atau harga penyediaan jasa depo peti kemas di Pelabuhan Panjang, Provinsi Lampung, menjadi perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Untuk itu, KPPU telah memutuskan kasus yang melibatkan 3 terlapor penyedia jasa di Pelabuhan Panjang tersebut.
Diketahui bahwa kesepakatan itu ternyata telah berlangsung lebih kurang selama 7 bulan, yaitu sejak Mei 2022 sampai dengan November 2022..
Dalam putusan, KPPU tidak menjatuhkan sanksi denda kepada terlapor I, II, dan III, dengan beberapa pertimbangan, antara lain memperhatikan kelangsungan kegiatan usaha.
Hal ini dilakukan karena adanya kerugian yang dialami para terlapor, harga yang tidak berubah sejak tahun 2013 hingga perkara a quo diputus, dan adanya terlapor yang keluar dari pasar dengan cara menutup cabang.
Majelis Komisi tetap menjatuhkan sanksi lain, berupa perintah kepada PT Java Sarana Mitra Sejati (terlapor I) dan PT Masaji Tatanan Kontainer Indonesia (terlapor II),
dua pelaku yang masih melakukan kegiatan di Pelabuhan Panjang.
Mereka diperintahkan untuk tidak melakukan
perjanjian penetapan harga penyediaan jasa depo peti kemas di wilayah tersebut.
Putusan ini adalah atas perkara nomor 20/KPPU-I/2023 tentang dugaan pelanggaran pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 terkait Kesepakatan Tarif Penyediaan Jasa Depo Peti Kemas di Pelabuhan Panjang.
Keputusan itu telah dibacakan Majelis Komisi, Senin (30/9/2024), di Kantor Pusat KPPU Jakarta.
Hadir memimpin jalannya sidang pembacaan
Putusan tersebut, anggota KPPU Mohammad Reza sebagai Ketua Majelis Komisi, didampingi
Anggota KPPU Hilman Pujana dan Eugenia Mardanugraha selaku anggota Majelis Komisi.
Perkara ini bersumber dari inisiatif KPPU dan melibatkan 4 terlapor, yakni PT
Java Sarana Mitra Sejati (Terlapor I), PT Masaji Tatanan Kontainer Indonesia (Terlapor II), PT
Citra Prima Container (Terlapor III), dan PT Triem Daya Terminal (Terlapor IV).
Keempat terlapor merupakan pelaku usaha yang menyediakan jasa layanan penyediaan depo peti
kemas di Pelabuhan Panjang, Lampung.
KPPU menduga telah terjadi pelanggaran Pasal 5 (penetapan harga) melalui penetapan tarif batas atas dan batas bawah bagi jasa depo peti
kemas yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Depo Kontainer
Indonesia (ASDEKI) DPW Lampung.
Penetapan tarif tersebut dilakukan melalui Surat Nomor 007/ASDEKI-LPG/III/2022 tentang Pemberlakuan Penyesuaian Tarif Batas Atas.
Kesepakatan tersebut dilaksanakan oleh anggota ASDEKI DPW Lampung, yakni Terlapor I, II, III, dan IV yang dinilai mewakili seluruh pangsa pasar penyediaan jasa depo peti kemas di Pelabuhan Panjang, Lampung pada tahun 2022.
Dalam persidangan, Majelis Komisi menemukan fakta bahwa pelaksanaan kesepakatan tarif tidak berjalan baik karena posisi tawar penyedia jasa yang lemah terhadap perusahaan pelayaran (pemilik peti kemas).
Khususnya dalam hal negosiasi sebagai bisnis penunjang penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan di Pelabuhan Panjang.
Terlebih di pasar depo peti kemas di Lampung, frekuensi barang ekspor lebih tinggi daripada
barang impor sehingga menimbulkan seringnya reposisi peti kemas dari tempat lain.
Majelis Komisi menilai pembentukan tarif pelayanan usaha jasa depo peti kemas didasarkan atas kesepakatan penyedia jasa dan pengguna jasa.
Jadi, merujuk pada persaingan tarif antar
pelaku usaha yang saling bersaing di pasar bersangkutan.
Meski demikian, Majelis Komisi menemukan adanya serangkaian pertemuan dan rapat
antar terlapor yang terjadi pada kurun waktu sebelum terbitnya Surat Nomor 007/ASDEKILPG/III/2022 tentang Pemberlakuan Penyesuaian Tarif Batas Atas. Pascasurat tersebut.
Yaitu terdapatnya penyesuaian tarif penyediaan jasa depo peti kemas di Pelabuhan Panjang oleh para terlapor, yang menunjukkan adanya kesepakatan antar mereka.
Majelis Komisi menilai kesepakatan tersebut ditujukan guna mempertahankan eksistensi para terlapor dalam industri depo peti kemas.
Dalam praktik, paska penetapan harga melalui ASDEKI, terlapor III dan IV justru keluar dari pasar karena tidak mampu memperoleh keuntungan dari kesepakatan harga
tesebut.
Sedangkan Terlapor I dan Terlapor II masih bertahan karena bagian dari komitmennya dengan konsumen. Para Terlapor dinilai tidak mampu mempertahankan kesepakatan tarif tersebut.
Hal ini terjadi arena tingginya permintaan refund dari konsumen yang cukup tinggi dan harus dipenuhi untuk bisa bertahan di pasar karena kuatnya daya tawar pengguna jasa (konsumen).
Dalam hal tersebut, Majelis Komisi menilai kesepakatan tarif yang dibuat tidak memberikan dampak yang tidak signifikan terhadap persaingan usaha.
Berdasarkan fakta, penilaian, analisis, dan kesimpulan di persidangan, Majelis Komisi
memutuskan bahwa Terlapor I, II, dan III terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Sementara Terlapor IV diputuskan tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Atas pelanggaran tersebut, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi berupa perintah kepada Terlapor I dan II , pelaku usaha yang masih melakukan kegiatan di Pelabuhan Panjang,l.
Mereka diperintahkan untuk tidak melakukan perjanjian penetapan harga penyediaan jasa depo peti kemas.
Lebih lanjut, dengan tidak adanya perubahan harga atau tarif penyediaan jasa depo peti kemas sejak tahun 2013 hingga saat ini, fakta keluarnya Terlapor III dan Terlapor IV dari pasar dengan menutup cabangnya.
Juga memperhatikan kelangsungan kegiatan usaha Terlapor, Majelis Komisi menilai bahwa tidak terdapat alasan yang cukup untuk menjatuhkan sanksi berupa denda
admisnistratif kepada para Terlapor.
Lebih lanjut, merujuk pada Pasal 131 Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 59 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan, Majelis
Komisi memberikan rekomendasi kepada Komisi.
Terutama untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Perhubungan RI untuk menerbitkan pedoman penghitungan tarif depo peti kemas guna mencegah pemanfaatan kekosongan aturan oleh pelaku usaha.(*)