ADA dua macam suara anjing di tengah malam jika melihat sesuatu, suara seperti ketakutan dan suara menggonggong. Suara ketakutan mungkin juga menangis jika melihat yang aneh (apa itu). Orang minang mengatakan a tu (baca: hantu). Namun jika melihat gelagat/perilaku orang yang mecurigai di tengah malam yang sepi, anjing akan menggonggong.
Defenisi watchdog (E. Christianto, 2019) kemukakan kegiatan media/pers dalam melakukan pengawasan terhadap Lembaga sosial, politik maupun lembaga-lembaga ekonomis yang jika tidak diawasi dapat melakukannya. Artinya media/pers dapat melakukan pengawasan dengan mengekspos ke media jika lembaga fungasionalnya tidak berfungsi. Menurut penulis elite intelektual (dosen dan mahasiswa) berkewajiban melaksanakan watchdog ini, karena melekat fungsi seluruh warga negara melakukan kontrol social. Selain itu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Apalagi dosen dan mahasiswa selalu berpikir logis, rational, skeptis, kritis, sistimatis dan analitis.
Persoalannya sekarang, apakah peran akademisi sebagai watchdog masih eksis? Apakah hanya sebagai pengekor pemerintah/penguasa? Kuantitas orang pintar dan kritis seyogyanya sekarang makin banyak, malah kalah dengan kuantitas masa Orde Lama dan Orde Baru. Mereka bukan tidak tahu, tapi lebih memilih diam (silent), demi mengamankan diri. Artinya lebih memilih status quo, dan dapat predikat “senang dengan kemapanan”.
Fakta berikut menarik disampaikan, terdapat 4.004 Perguruan Tinggi (PT) dengan rincian 184 Perguruan Tinggi Negeri (PTN), 3.820 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Dari 4.004 PT tersebut, hanya 32 PT (0,8 %) yang mendeklarasikan demokrasi bermoral, menolak politik dinasti dan penyimpangan demokrasi. Tidak representasi memang, namun PT pertama dan kedua yang melakukan itu adalah Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dua PT yang masuk kategori paling tua dan terletak di kota budaya, seolah tetap concern menghargai budaya politik.
Diikuti urutan ketiga Universitas Indonesia (UI), merupakan PT legendaris yang dulu terkenal dengan aktivis-aktivisnya yang memprakarsai Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ketika mencetuskan Tiga Tuntutan Rakyat (Tri Tura) masa Orla, sehingga Soekarno makin terdesak dan keluarlah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) untuk menyerahkan kekuasaan kepada ORBA. Juga partisipasi akademisi UI pada Reformasi 1998. Namun terasa aneh sekarang ini akademisi seolah tidak bergeming dalam melakukan kontrol sosial, bahkan ada pula akademisi sebagai penghianat yang mencari dalil-dalil pembenaran penyimpangan penguasa.
Fenomena apa ini? Makanya penguasa merasa semakin bebas melakukan sesuatu. Fenomena ini dimulai maju dan terpilihnya RBR (Putera Jkw) sebagai Wali Kota Solo, lanjut BN (menantu Jkw) sebagai Wali Kota Medan. Merasa lemah kontrol masyarakat, memasukkan ipar Jkw ke Mahkamah Konstitusi (MK), maka terjadilah Keputusan aneh MK selanjutnya memuluskan langkah RBR menjadi Wapres. Wajar-wajar saja jika ada anggapan ada kecurangan-kecurangan dalam Pemilihan Presiden 2024. Tendensius sekali. Terakhir yang menjadi polemik adalah pemberian gelar Jenderal terhadap Presiden yang dianggap terpilih.
Kurangnya kontrol dari elite intelektual bermuara dapat kepada lunturnya idealisme dan sikap. Jika kita idententifikasi ciri-ciri negative bangsa Indonesia yang dikemukakan oleh budayawan Muchtar Lubis adalah watak yang lemah. Sinisme Muchtar Lubis ini masih relevan menurut Rahadian Rundjan (2019). Seharusnya tetap memelahara dan mandarah daging semangat encourage. Encourage artinya mendorong. Kata ‘encouraging’ merujuk pada tindakan memberi dorongan semangat atau dukungan kepada seseorang untuk melanjutkan usaha atau tindakan tertentu. (kamus Bab.la, 2024).
Penyebab lemahnya watak ini disebabkan karena lingkungan kita sudah negatif yang dipertontonkan dengan kehidupan materialis. Kesuksesan seorang diukur dari materi. Sistem kepangkatan dan jabatan tertinggi yang memberi incentive dengan lompatan disparitas yang terjal, membuat akademisi berlomba-lomba dan khusuk menggapainya, sehingga lupa fungsi sebagai kontrol sosial. Belum lagi kesibukan administrasi yang bukan merupakan pekerjaan substantif menambah lupa akan fungsi kontrol sosial yang masih melekat pada profesi tersebut. Mereka juga seolah sudah lupa terjebak dengan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Kita juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya para dosen yang mendapat kesempatan dalam meningkatkan kesejahteraan yang lebih baik.
Jadi ingat lagu Jamrud “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, senangpun tak datang. Akhirnya mati kemudian”. Artinya mereka sudah capek hidup sederhana, inilah kesempatan meningkatkan kesejehteraan. Sementara aktivitivis mahasiswa gamang antara Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan aktif melakukan kontrol sosial.
Penutup.
Kontrol sosial akan efektif jika mendapat dukungan mahasiswa. Big question yang masih relevan diajukan adalah: sementara akademisi lebih banyak jadi “watchdog penonton yang takut” ketimbang “watchdog penyalak”, siapa yang menjaga encourage mahasiswa? Perubahan demokrasi yang lebih baik hanya jadi mimpi kita semua.
*Dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Unja