BANGSA Indonesia baru saja melaksanakan Pemilu, sebelumnya dilakukan penggelontoran Bantuan Sosial (Bansos) berupa beras kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat banyak.
Akibatnya terjadi kelangkaan beras di pasar dan bersamaan dengan musibah banjir yang mengakibatkan petani gagal panen. Efeknya harga beraspun jadi naik.
Kenaikan harga komoditi beras ini konskuensinya harga komoditi lain pun merambah naik, seperti ketakutan Masyarakat jika harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik akan menyesuaikan pula kenaikan harga komoditi lainnya.
Nyatanya memang terjadi kenaikan harga berbagai produk naik tak tertahankan, ditambah lagi bulan Ramadhan yang puncaknya adalah Idul Fitri 1445 Hijriah. Bulan Ramadhan dan Idul Fitri harus tetap dilalui terutama persiapan lebaran.
Prediksi tradisi kunjung mengunjungi sekaligus silaturahmi di saat lebaran akan kembali seperti sebelum covidd. Ephoria setelah covid ini, tentu tidak dilewatkan. Sebagian Masyarakat secara bersahaja menghadapi  Idul fitri, namun ada pula yang menyikapi secara istimewa.
Penulis yakin bagi ummat Islam yang melaksanakan puasa dan ibadah lainnya selama bulan Ramadan secara benar dan khusuk, pengendalian dirinya semakin baik dan akan tetap isiqomah rendah hati dan peduli terhadap sesama.
Bukankah bulan puasa sebagai bulan revitalisasi pembentukan karakter manusia agar menjadi lebih baik setelah puasa dan masa yang akan datang! Fenomena mulai menurun keimanan dapat dilihat saat akhir-akhir bulan puasa, umat Islam mulai terusik akan menghadapi lebaran.
Ibu-ibu mulai meninggalkan sholat tarawih dan tadarusan karena harus membuat kue agar dapat bermegah-megahan ketika lebaran. Bapak-bapak juga tidak ketinggalan sibuk mengecat rumah pada malam hari sehingga lupa tarawih dan tadarusan demi penampilan rumah yang lebih megah.
Kadang lantai sudah keramik dan tidak up to date, dibongkar ganti yang baru. Fenomena lain setelah Ramadhan, keimanan seolah dirusak dengan kehadiran Idul Fitri. Bagi yang kurang mendalami hakekat dari puasa menjadi lepas kendali seolah Idul Fitri adalah balas dendam terhadap bulan puasa yang banyak harus menahan diri.
Sering kita temukan setelah Ramadhan, umat Islam melaksanakan euphoria seolah arti kemenangan di hari idul Fitri seperti masyarakat benua eropa merayakan kemenangan tim sepakbola negaranya. Analogi ini sepertinya cocok dengan tumpah ruah masyarakat dijalan raya malam jelang Idul fitri.
Mereka merayakan hari kemenangan dengan naik kenderaan terbuka sambil berteriak bertakhmid melafaskan Allahuakabar…. Allahuakbar dengan diiringi pukulan beduk bertalu-talu. Asal mereka tidak lupa saja melaksanakan sholat isa sebelumnya, kalau tidak mereka termasuk orang yang lalai.
Ini masih lumayan, bermegah-megahan dengan pamer harta kekayaan yang diperolehnya selama setahun, seolah ia menang menaklukkan dunia. Mereka biasanyanya memamerkan kenderaan yang baru, rumah yang sudah mewah dibuat lebih megah lagi, menggunakan pakaian dengan harga jutaan rupiah, belum lagi aksesoris mewah yang melekat ditubuhnya.
Melakukan pesta jelang idul Fitri dengan hidangan mewah dan tidak satupun orang miskin dilibatkan. Ini termasuk orang yang lupa bahwa harta yang diperoleh tersebut tidak digunakan sebaik-baiknya untuk membantu kepada sesama dalam rangka pengabdian secara kaffah kepada Allah Subhana Wataala.
Ini juga termasuk katagori orang yang lalai. Akibat pesta pora dalam merayakan malam Idul Fitri, ummat Islam sampai lupa sholat Isa dan Shubuh bahkan sholat Idul Fitri.
Mengenai bermegah-megahan mengakibatkan manusia lalai, sebenarnya telah ada ancaman dari Allah SWT dalam surat At Takaatsur yang terdiri dari delapan ayat yang terjemahannya sebagai berikut:
- Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.
- Sampai kamu masuk ke dalam kubur.
- Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui akibat perbuatan itu.
- Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
- Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yakin.
- Niscaya kamu benar-benar melihat neraka jahanam.
- Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yaqin.
- Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan) di dunia itu).
Substansi surat ini intinya keinginan manusia untuk bermegah-megahan dalam soal duniawi, sering melalaikan manusia dari tujuan hidupnya. Dia baru menyadari kesalahannya itu setelah maut mendatanginya, manusia akan ditanya di akherat tentang nikmat yang dibangga-banggakan itu. Bahkan dalam delapan ayat yang termaktub tersebut tiga ayat dengan kalimat yang sama mengemukakan berulang “janganlah begitu, janganlah begitu” (kalla saufata’nglamun).
Kita temukan pada ayat tiga, empat dan lima. Artinya begitu pentingnya jangan bermegah-megahan sehingga kita lalai dan lupa hakekat tujuan hidup sesungguhnya. Jika umat Islam, tidak mengindahkan ancaman ini, maka mereka akan terjebak masuk ke dalam api neraka, sebagaimana tercantum pada ayat enam.
Marilah kita tersentak dan menghayati surat ini, sehingga terhindar dan tidak terjebak lagi dengan hidup yang bermegah-megah, baru menyesal setelah masuk kubur. Kita bukan hanya diminta pertanggungjawaban dari mana harta tersebut diperoleh secara halal, juga diminta pertanggungjawaban bagaimana harta digunakan secara baik dan benar di jalan Allah.
*Penulis Dosen pada Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Unja. Penulis bukan Ustads, namun berkewajiban menyampaikan walau hanya beberapa ayat.