“BUMI dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” begitulah penegasan yang disekapati oleh para pendiri bangsa ini dan tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3).
Lalu bagaimana implementasi pemerintah terhadap UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) sejauh ini? Ini menjadi pertanyaan mendasar yang sering terpintas ketika melihat sejumlah masyarakat yang kemudian tergusur dan terpinggirkan oleh aktivitas korporasi.
Masyarkat terus-menerus melakukan aksi demonstrasi kepada aparat penegak hukum maupaun pemerintah daerah atas konflik yang terjadi baik di sektor agraria yang meliputi perusahaan perkebuan maupun di sektor pertambangan Minerba.
Namun pemerintah daerah hanya bisa memediasi atas permasalahan yang terjadi pada kedua belah pihak. Hal ini tentu tak terlepas dari batas-batas kewenangan Pemerintah Daerah baik Bupati atau Gubernur sebagaimana diatur dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Hal semacam ini kemudian semakin diperparah dengan regulasi yang disahkan oleh pemerintah pusat. Meski sudah mendapat penolakan keras dari berbagai kalangan masyarakat sipil setanah air, pemerintah pusat tetap saja mengesahkan Omnibuslaw Cipta kerja yang didalamnya memberi kemudahan bagi pelaku usaha di sektor Perkebunan hingga Pertambangan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan juga Undang Undang No 3 tahun 2020.
Lalu, apakah Kekayaan Alam yang Dikuasai Oleh Negara sejatinya Untuk Kemakmuran Rakyat terkhususnya pasca pemberlakuan UU Nomor 06 tahun 2023?
Saat ini, segala perizinan dikelola dengan kuasa penuh oleh pemerintah, sementara daerah berkelimpahan konflik yang tidak berkesudahan. Bicara soal bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah atas segala potensi alam baik perkebunan atau pertambangan yang dikelola.
Hal ini juga tampak belum berdampak signifikan terhadap laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat. Dana Transfer ke Kas Daerah (TKD) dalam bentuk DBH baik sektor Migas, Batu Bara hingga perkebuan tak pernah sampai pada nominal yang setara, bahkan bisa disebut timpang.
Di Jambi sendiri, sudah jadi pemandangan biasa ketika sejumlah masyarakat melakukan aksi demonstrasi menuntut haknya mulai ke Kantor/Pabrik Perusahaan Perkebunan, ke Kantor Polisi, Kantor Pemerintah Daerah, DPRD, dan juga ke Kantor Kejaksaan.
Jika melihat pemberitaan di media massa, hal ini bahkan hampir terjadi dalam setiap bulannya. Di Jambi riset dari berbagai Non Goverment Organization (NGO) atau LSM seperti Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa Provinsi Jambi menempati urutan ke 2 dengan angka konflik agraria terbesar se-Indonesia.
Disisi lain, soal konflik yang ditimbulkan atau dipicu oleh korporasi ini mungkin sejumlah pihak berpandangan bahwa Undang Undang sudah mengatur prosedural untuk memperoleh keadilan, namun jika kembali pada Pasal UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), tentu hal ini merupakan suatu masalah serius yang harus jadi perhatian bagi pemerintah dan seluruh pihak terkait.
Penulis berpandangan bahwa negara seyogyanya harus mengakomodir kepentingan seluruh kalangan masyarakat, karna kebijakan pemerintah harus berorientasi pada masyarakat, bukan sebaliknya, menitik beratkan pada kepentingan pebisnis dengan dalih hal itu akan mengakomodir penyerapan tenaga kerja dan mengabaikan potensi konflik yang kemudian timbul. Kedepan, Perlu adanya keberpihakan yang nyata bagi segenap masyarakat.
Bahwa terkait kekayaan atau potensi daerah harus dikelola lewat hukum yang adil yang kemudian dibangun diatas prinsip menghormati harkat dan martabat manusia. Ini berarti juga hukum yang adil tidak hanya semata-mata karena hukum itu berlaku untuk semua orang, tetapi hukum yang berlaku untuk semua orang tidak bertentangan dengan harkat dan martabat manusia.
Jika hal ini nantinya terakomodir, penulis berpandangan bahwa negara ini telah bergerak maju dalam upaya menggapai cita-cita politik bangsa dalam memajukan kesejahteraan umum sebagaimana juga telah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3).
*Penulis merupakan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.