PENGANGKATAN penjabat (Pj) kepala daerah belakangan ini heboh, dan dipersoalkan oleh publik, padahal selama ini penunjukan Pj Gubernur, Pj Bupati, dan Pj Wali Kota dari pegawai negeri boleh dibilang aman-aman saja.
Hal ini tentu tak dapat dilepaskan dari persoalan kepastian hukum dalam proses pengangkatan 101 Pj kepala daerah, sebelum adanya Permendagri Nomor 4 tahun 2023. Saat itu pemerintah pusat mengklaim bahwa landasan pengangkatan Pj kepala daerah sudah sesuai ketentuan perundang-undangan yang ada yakni Pasal 201 Undang Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati.
Pada intinya, bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 dan 2024 diangkat Pj kepala daerah sampai dengan terpilihnya kepala daerah definitif pada Pilkada 2024.
Namun satu-satunya ketentuan yang tercantum dalam UU tersebut hanya kategori jabatan dari ASN, tanpa merinci prosedur dan mekanisme hukumnya. “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” demikian bunyi Pasal 201 Ayat 10 UU Nomor 10 tahun 2016.
Kemudian ketentuan soal pengangkatan Pj Bupati/Wali Kota juga tak jauh beda, bunyinya begini. “Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Wali Kota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati dan Wali Kota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” demikian bunyi Pasal 201 Ayat 11 UU Nomor 10 tahun 2016.
Sebenarnya ketentuan terkait Pasal 201 UU Nomor 10 tahun 2016 tersebut telah ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 205C yang menegaskan bahwa “Peraturan pelaksana dari Undang Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 bulan terhitung sejak Undang Undang ini diundangkan.”
Namun nyatanya, meski UU Nomor 10 tahun 2016 sudah ditetapkan sedari 1 Juli 2016 oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Peraturan pelaksana yang ditunggu-tunggu yakni Permendagri Nomor 4 tahun 2023 baru terbit pada 4 April 2023 oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.
Lantas, bagaimana proses penunjukan Caretaker atau Pj Gubernur, Bupati dan Wali Kota ditinjau dari perspektif politik hukum? Saat ini, proses penunjukan Pj kepala daerah diakibatkan oleh proses pelaksanaan Pemilu dan Pilkada secara serentak di Indonesia.
Banyak masa jabatan dari Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang mengalami kekosongan, sehingga pemerintah melalui Kemendagri harus menunjuk Pj Gubernur, Bupati dan Wali Kota untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut.
Disisi lain, proses dan mekanisme penunjukan Pj Gubernur, Bupati, Wali Kota telah diatur dalam pasal 201 UU Nomor 10 tahun 2016, yang selanjutnya ditegaskan melalui Pasal 205C yang bahwa “Peraturan pelaksana dari Undang Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 bulan terhitung sejak Undang Undang ini diundangkan.”
Namun, Peraturan pelaksana dari Pasal 201 UU Nomor 10 tahun 2016 itu pada 4 April 2023 melalui Permendagri Nomor 4 tahun 2023 usai penunjukan 101 Pj oleh pemerintah pusat menuai gaduh se-tanah air, viral dan jadi sorotan media dan sejumlah lembaga pemerhati demokrasi.
Fenomena hukum ini bagi penulis sendiri merupakan suatu preseden buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ditinjau dari perspektif politik hukum, penulis berpendapat bahwa sebenarnya terjadi kekosongan hukum dalam pengangkatan 101 Pj kepala daerah pada 2022, karena tidak sesuai dengan konstruksi pasal 205 C UU Nomor 10 tahun 2026, sejatinya “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sebagaimana termaktub dalam konstitusi kita.
Tentu hal ini merupakan hal serius bagi semua pihak utamanya pemerintah ke depan dalam mengambil kebijakan karena esensi dalam negara hukum adalah berarti semua kebijakan harus diatur oleh hukum sampai ke detail terkecilnya.
*Penulis merupakan mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi