BELAKANGAN sektor usaha perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan ramai jadi perbincangan, alhasil nasib para pelaku usaha maupun para petani di sektor perkebunan itu jadi runyam.
Hal ini merupakan imbas langsung dari diundangkannya UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diturunkan dalam salah Perpu yakni Perpu No 24 tahun 2021 tantang Tata Cara Pengenaan Sangsi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Perpu tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan mengeluarkan Surat Keputusan Data dan Informasi (SK-DATIN) tentang kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan.
Ada jutaan hektar kebun kelapa sawit yang diklaim berada dalam kawasan hutan. Mulai dari milik perorangan, kelompok, koperasi, maupun perusahaan. Totalnya KLHK mencatat bahwa setidaknya terdapat 3,37 juta Hektar perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan per 2023.
Terkait masalah ini, KLHK menonjolkan 2 pasal yang pada intinya menyangkut penyelesaian masalah keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan yankni Pasal 110A dan 110B pada UU Cipta Kerja.
Pasal 110A ayat 1 berbunyi, “Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023.
Ayat 2, “Dalam hal setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan tidak menyelesaikan persyaratan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenai sanksi administratif berupa: a. pembayaran denda administratif; dan/atau b. pencabutan Perizinan Berusaha.
Ayat 3, Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif sebagimanaĀ dimaksud pada ayat 2 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sesuai penjelasan Pasal 110A Ayat 1 yang dimaksud dengan āmemiliki Perizinan Berusahaā dalam ayat ini adalah setiap orang yang memiliki izin lokasi dan/ atau izin usaha di bidang perkebunan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Artinya Pasal 110A adalah menjadi pedoman jika subyek hukum memiliki izin lokasi dan/atau Izin usaha di bidang perkebunan otomatis secara hukum tunduk pada ketentuan Pasal 110A.
Terhadap Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang menerapkan aturan yang berbeda, maka sudah dapat dipastikan produk dari Pejabat tersebut akan menimbulkan konflik atau sengketa hukum yang baru.
Kemudian, Pasal 110B ayat 1 berbunyi, Setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2 huruf b, huruf c, dan/atau Pasal 17 ayat 2 huruf b, huruf c, dan/atau huruf e, atau kegiatan lain dikawasan hutan tanpa memiliki perizinan berusaha yang dilakukan sebelum 2 November 2020 dikenai sangsi administratif, berupa:
a. Penghentian sementara kegiatan usaha
b. Pembayaran denda administratif dan/atau
c. Paksaan pemerintah
Ayat 2, Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilakukan oleh perseorangan yang bertempat tinggal didalam dan/atau disekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 hektar, dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan.
Pada intinya, 2 pasal ini sama-sama meminta denda yang besar. Bedanya, kalau skema penyelesaiannya memakai pasal 110B, lahan tidak menjadi hak milik si penggarap, tapi hanya boleh dikuasai sampai kebun sawitnya mati atau berakhir 1 kali masa daur dan selama kebun sawit dikelola, dan penggarap diwajibkan membayar PNBP setiap tahunnya.
Jika sanksi administrasi dalam bentuk denda tidak dipenuhi, maka terdapat sanksi penegakan hukum berikutnya, mulai dari pencabutan ijin dan paksaan pemerintah berupa penyitaan hingga sanksi pidana.
Ditengah politik hukum yang terlihat yakni pembenahan tata kelola perkebunan dan optimalisasi penerimaan negara, pemerintah sejatinya masih tetap memberikan kesempatan masyarakat untuk mendapatkan akses legal atas tanah garapannya.
Namun hal itu tidaklah seutuhnya, karena akses yang diberikan pemerintah terbatas pada pola kemitraan semacam perhutanan sosial dan sejenisnya, yang ujung-ujungnya tanah tidak dimiliki utuh sebagaimana berstatus SHM
Klaim pemerintah skema ini diterapkan demi produktifitas masyarakat tetap terjaga, begitu juga kawasan hutannya. Perlu digarisbawahi masyarakat yang berada dalam kawasan hutan dapat mengelola hutan asalkan ada ijin kehutanan melalui hutan sosial.
Disini penulis berpandangan bahwa implementasi dari UU CK sarat akan sejumlah masalah, ada persoalan besar terkait kepastian hukum dan rasa keadilan bagi semua pihak yang tersandung kasus lahan dalam kawasan ini.
Disamping itu, pemerintah dengan kekuasaan penuh yang melekat dalam menerbitkan izin-izin berusaha serta melakukan penegakan atau memberi sanksi bagi pihak-pihak yang terindikasi melanggar ketentuan Pasal 110A dan 110B, harus benar-benar menjunjung tinggi prinsip Good Governance demi mencapai tujuan negara dan demi terpenuhinya rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
*Penulis merupakan Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi