SUARA sirine kereta api mengagetkanku. Tiba-tiba kereta berhenti perlahan di Stasiun Prupuk, penumpang dengan barang bawaan turun satu persatu keluar Stasiun Tegal, aku turun sambil mengendong tas sandang berisi pakaian untuk bekal di kampungku beberapa hari, sementara tangan kiriku membawa tas berisi makanan ringan sisa perjalanan dari Jogjakarta pagi tadi.
“Tunggu aku, jalannya pelan saja, kakiku sedikit lelah,” ujar istriku sambil memegang lengan kiriku.
Perjalanan yang memakan waktu hingga empat jam, terasa begitu lama apalagi kami berdua duduk di kursi yang menghadap belakang, sehingga selama dalam perjalanan di dalam kereta kurang nyaman, sebab tidak bisa melihat pemandangan alam di sepanjang perjalanan.
“Cari saja bus atau becak, biar kita lekas sampai rumah nenek,” ujar istriku lagi.
Tubuh letih langsung keluar Stasiun Prupuk, untuk mencari kendaraan, tiba-tiba ponselku berbunyi, nama ponakanku muncul di layar androidku. Langsung kuangkat di sudut telepon terdengar suara ponakanku menanyakan sudah sampai mana.
“Ini baru saja turun dari kereta, masih menunggu kendaraan,” ucapku.
“Biar dijemput saja. Abang tunggu barang sebentar aku sampai membawa mobilku,” terdengar suara adikku di ujung telepon.
Seperempat jam perjalanan dari stasiun menuju rumah kakekku, tak kusangka jika kepulanganku kali ini sudah mereka tunggu, bukan hanya bertanya soal kabar keluarga saja tetapi bertanya kesehatan anak-anakku juga.
Tiba di rumah kakekku, tak banyak yang berubah rumah yang dulu kami tempati bersama ayah dan ibu serta kakakku, masih terlihat dinding rumah tua yang berbahan dasar batu bata masih kokoh, hanya saja beberapa sudut ada semen yang sudah mulai ambrol, menandakan bahwa bangunan itu sudah sangat tua dan lama ditempati.
“Di belakang rumah ini dulu, engkau bersama adikmu pernah bermain air, tapi sayangnya sawah yang luas, yang ada kandang babi milik orang keturunan sudah ditimbun dan dijadikan perumahan,” kata kakek sambil duduk di kursi kayu di belakang rumah di bawah pohon mangga.
“Selokan air yang dulu sering untuk bermain, kini sudah tertutup tanah dan hanya ditumbuhi rerumputan liar, bahkan setiap kali hujan lebat lokasi belakang rumah jadi banjir,” keluhnya.
Tubuh tua itu terlihat sudah sedikit kepayahan untuk bangun dari kursi kayu, dengan gerakan perlahan lelaki tua yang dulu dikenal sangat kekar, hanya menyisakan garis-garis kekarnya saja.
Kupandangi punggung lelaki tua itu, dengan penuh kenangan, betapa tidak dulu saat aku kecil pundak kekar itu jadi tempat ternyaman untuk sekedar digendong dan diletakkan tubuh mungilku di pundaknya.
Ya sosok lelaki tua itu, sangatlah mirip dengan ayahku yang berperawakan kekar dan sangat tegas terhadap keluarganya, terdengar air dalam sumur seperti tengah ditimba, bergegas aku menghampiri di dapur rumah nenekku, langsung saja kuraih tangan renta itu dan kuganti dengan tangan untuk menimba air sumur.
“Sudahlah, istirahatlah ajak istrimu itu masuk ke dalam rumah, kasihan sangat jauh perjalanan menuju rumah nenek, biarkan kusiapkan air hangat untuk membuat minuman hangat,” ungkap kakek.
Malam berlalu, suara jangkrik di samping kamarku terdengar jelas. Lamat-lamat suara Gending Jawa dari radio tua terdengar dari belakang rumah, ya..kakekku masih suka duduk menyendiri di belakang rumah. Kudekati kakek. Sedikit terkejut kakek berpindah posisi duduknya.
“Dulu ayahmu memiliki tujuh saudara, setelah besar mereka berpencar mencari kehidupan agar mereka bisa hidup layak, dari semua cucuku yang ada hanya dirimu yang sering ke rumah kakek, wajahmu mirip sekali dengan wajah almarhum ayahmu, Nak,” ucap kakek sambil membelai kepalaku.
Ada buliran hangat di pelupuk mata jatuh melewati pipiku, ingatanku kembali melayang mengingat almarhum ayah, yang saat itu masih gagah, memenuhi permintaan ibuku yang tengah menyiram adikku, permintaan ibuku sangat aneh menurutku, sebab ibu meminta ayah untuk mencarikan kodok hijau di sawah yang sudah selesai dibajak menunggu ditanami padi.
Untuk menuruti permintaan ibuku, ayah menyiapkan peralatan untuk mencari kodok di belakang rumah kakekku, dengan menggunakan lampu minyak, dengan pelan-pelan ayah mulai mencari kodok, berharap bisa mendapatkan beberapa ekor kodok untuk bisa dibawa pulang untuk memenuhi permintaan ibuku yang tengah hamil adik bungsuku dengan wajah riang ayah pulang membawa enam ekor kodok hijau yang didapatkan di sawah kemudian dibersihkan dan diserahkan ibuku untuk dijadikan lauk makan ibuku.
Sosok ayah yang begitu gagah, berperawakan kekar serta memiliki kumis tebal, ayah terlihat begitu gagah dan berwibawa, kasih sayang ayah dan cara ayah merawat anak-anaknya tinggallah kenangan bagiku, tiba-tiba tangan kakek membuyarkan lamunanku, dan memintaku untuk masuk ke dalam rumah sebab sudah tengah malam, sementara istriku yang kelelahan tengah tertidur pulas sekali.
Aku bersimpuh di depan kakekku, aku berpamitan untuk kembali ke rumahku, lagi-lagi lelaki tua itu membelai kepalaku dengan lembut, entah doa apa yang diucapkan di atas kepalaku, tapi aku yakin bahwa doa terbaik dipanjatkan kakekku.
Kursi kereta yang kutumpangi terasa bergoyang, saat melintasi relnya, sementara di depanku dua ibu-ibu terdengar asyik ngobrol, sementara istriku yang duduk di sampingku masih menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Banyak kenangan masa kecil dan masa bahagia yang di tinggalkan di rumah kakek, semoga saja kita bisa kembali mengunjungi kakek,” ucap istriku pelan.
Kereta melaju hingga stasiun terakhir, sejuta kenangan dan lelahnya istriku kubawa kembali ke rumahku….
Sanggar Imaji Tegal, 2 November 2023