DATAJAMBI, Jambi – Sejumlah warga dari 11 desa pada 4 kabupaten dampingan Walhi Jambi mendatangi kantor Gubernur Jambi, didampingi Walhi Jambi mereka melakukan aksi unjuk rasa pada Jumat, 29 September 2023 atas konflik lahan menahun yang tak kunjung usai.
Beberapa saat setelah mereka menyampaikan orasi di depan kantor Gubernur Asisten III Setda Provinsi Jambi, Jangcik Mohza bersama Kaban Kesbangpol Provinsi Jambi, Apani turun menemui. Massa aksi pun diterima dan diajak berdiskusi soal masalahnya.
Pada kesempatan itu, Suwarno perwakilan warga Pandan Jaya, Tanjungjabung Timur mengungkap lahan masyarakat yang digarap oleh PT Indonusa Agromulia. Padahal status lahan yang digarap perusahaan itu diperuntukkan bagi masyarakat transmigran tahun 2002. Suwarno pun mengeluhkan hal itu.
“Lahan kami tidak bisa digarap, kawan kami ada yang dikriminalisasi oleh perusahaan,” kata Suwarno, Jumat, 29 September 2023.
Dia juga menyampaikan bahwa terakhir terdapat agenda sosialisasi yang dijanjikan oleh perusahaan pada masyarakat dengan difasilitasi oleh Kesbangpol Tanjungjabung Timur, namun terhadap agenda tersebut sampai kini tak terealisasi. Dia pun berharap agar pemerintah provinsi bergerak, agar hak atas lahan bagi masyarakat transmigrasi yang sudah diberi pemerintah pada tahun 2002 segera terpenuhi.
Kemudian juga ada Sadikusnanto, warga Mekar Sari Kabupaten Batanghari. Masalahnya hampir sama dengan masalah warga transmigrasi di Pandan Jaya.
“Tahun 2005 kita sudah punya sertifikat tapi lahan diambil orang yang tidak bertanggung jawab atas nama perusahaan. Kalau kita mengambil lahan ini hasilnya kriminalisasi. Masalahnya ada sertifikat dak ado tanah,” ujarnya.
Dia mengaku sudah lama masyarakat mengadu ke mana-mana, namun untuk survei pun pemerintah tidak ada turun ke lokasi. Sampai saat ini objek tanah yang sejatinya diperuntukkan pemerintah pusat bagi warga transmigrasi itu masih dikuasai oleh pengusaha dan tentu terdapat potensi konflik yang besar jika tak kunjung diselesaikan.
Kemudian Maman Suparman perwakilan warga Sungai Bengkal, Tebo. Maman menyampaikan tepatnya di wilayah RT 17 Sungai Bengkal, pihaknya berkonflik dengan perusahaan bernama Sawit Madu Bengkal yang sudah beroperasi sejak 2006 silam dengan luas areal mencapai 800 hektare. Namun diduga perusahaan tersebut tak punya izin alas hak sesuai dengan luas areal. Sikapnya pun dinilai sangat arogan terhadap warga RT 17.
“Jalan digali, parit ditutup, binatang diracun. Dan ini sudah sampai ke ranah Penjabat Bupati Tebo, sudah mediasi sampai beberapa kali. Pertemuan terakhir Agustus ada di rumah dinas mau pengukuran luas areal,” katanya.
“Maksud kami ya minta kalau memang Sawit Madu Bengkal punya alas hak sesuai arealnya silakan diolah, kalau tidak punya sesuai dengan yang disampaikan Penjabat Bupati akan dikembalikan kepada masyarakat, sampai sekarang tidak terealisasi,” katanya.
Selanjutnya ada Mardani, warga Simpang Rantau Gedang, Batanghari. Dia menceritakan situasi bahwa pihaknya sudah memperoleh SK KTH oleh Pemda Batanghari dan objek tanahnya sudah diukur oleh BPN dan Dinas Kehutanan Batanghari pada 2016 silam.
“Anehnya dari 246,02 hektare itu yang bisa kami kuasai cuma 110 kurang, sisanya dikuasai oleh sebuah perusahaan,” katanya.
Parahnya perusahaan yang dimaksud yakni PT Sawit Jambi Lestari (SJL) yang diduga menyerobot lahan yang sudah di-SK-kan oleh Bupati kepada KTH tersebut malah diduga tak berizin.
Lanjut, Wiranto dari Desa Gambut Jaya, Muarojambi datang dengan permasalahan program PS yang sudah 2 tahun didorong kepada pemerintah namun belum ada progres berarti. Sementara kini terdapat perusahaan sawit bernama PT Muaro Kahuripan Indonesia (MKI) yang disinyalir telah menanam sawit pada areal berstatus kawasan hutan gambut itu dengan luas ratusan hektare.
“Pertama lahan itu adalah eks transmigrasi juga, Pak. Itu juga penuh konflik seperti yang disampaikan teman-teman tadi ada mafia tanah di situ, wilayah kami dicabik-cabik oleh perusahaan khususnya PT MKI,” katanya.
Kemudian Bayu perwakikan warga Pemayungan, Tebo dirinya menyampaikan bahwa sejumlah warga di sana hidup dengan dikelilingi areal konsesi PT LAJ. Pihaknya beberapa kali mendorong pola kemitraan dengan skema Wilayah Kelola Rakyat (WKR) namun sama seperti kendala warga Gambut Jaya, belum ada progres berarti.
Kemudian perwakilan warga Sungai Baur, dimana terdapat Kelompok Tani Sekato Jaya yang berkonflik dengan PT Wira Karya Sakti (WKS). Dari tahun 2018 kami sudah kuasai lahan, kami butuh legalitas jumlahnya 180 KK dengan total lahan 112 hektare, namun belum ada kejelasan terkait lahan tersebut.
Selanjutnya terdapat warga Sungai Bungur, dengan masalah terkait lahan SK Tol yang pada tahun 2002 dikeluarkan SK oleh BPN. Menurutnya SK Tol tersebut telah jadi pemicu konflik. Dia pun menilai SK Tol itu harus dicabut karena ini potensi besar bagi terjadinya chaos.
Sementara itu Direktur Walhi Jambi Abdullah menyampaikan terimakasih kepada Asisten 3 dan Kaban Kesbangpol karna sudah menerima para petani. Abdul menegaskan bahwa tujuan Walhi tak lain adalah bagaimana agar konflik bisa terurai dan segera selesai.
“Harapan kami di sini sebagai pendamping, kami tidak muluk-muluk kalau kita memang harus verifikasi subjek objek kemudian berapa luasan yang dikelola masyarakat kami siap,” katanya.
Dengan semua persoalan yang disampaikan oleh para petani dan juga Direktur Walhi itu, Asisten 3 Setda Provinsi Jambi, Jangcik Mohza menyampaikan bahwa masing-masing Pemerintah Daerah sudah punya Timdu dan berwenang mengatasi konflik di daerah masing-masing.
“Itu wewenang berada di kabupaten kota. Izin-izin semua di bupati. Enggak ada kewenangan gubernur di situ,” katanya.
Senada dengan Jangcik, Kaban Kesbangpol Apani menyampaikan terdapat batas-batas kewenangan dalam mengatasi konflik sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Namun untuk konflik yang sudah terjadi selama bertahun-tahun, kata Apani, kita akan berupaya mengurai.
“Dak bisa kami semena-mena mengambil (masalah ini) tanpa ada penyerahan dari Kabupaten/Kota. Tapi kami akan melakukan kajian penelitian terhadap laporan mereka, apa yang sudah Timdu kabupaten/kota lakukan,” katanya.
Kalau memang dak sanggup (Timdu) di sana, lanjut dia, dilimpahkan ke kita agar kita bantu penyelesaian masalahnya. “Kami berterima kasih. Laporan ini merupakan referensi kami untuk melihat konflik-konflik di Provinsi Jambi ini,” ujarnya.