Berdasarkan laporan South China Morning Post, temuan tersebut menyoroti pentingnya mempertimbangkan fenomena yang disebut immune imprinting dalam desain vaksin.
Immune imprinting mengacu pada sistem kekebalan orang merespons jenis virus baru dengan cara memproduksi antibodi yang disesuaikan dengan jenis varian pertama virusnya.
Dalam beberapa kasus, sistem ini menyebabkan kemampuan yang lebih buruk untuk melindungi seseorang dari jenis virus baru.
Para ilmuwan dari Fakultas Kedokteran Universitas Shanghai membandingkan 135 sampel serum dari tiga kelompok pasien covid-19. Riset ini terbitkan dalam jurnal internasional Cell Research.
Kelompok pertama tidak divaksinasi, kelompok kedua menerima dua dosis vaksin yang tidak aktif, dan terakhir adalah mereka yang menerima tiga dosis.
Semua sampel terinfeksi dengan jenis BA2 dari varian Omicron, yang merupakan jenis yang paling banyak terjadi selama wabah di Shanghai awal tahun lalu.
Para peneliti kemudian menguji antibodi yang ditemukan dalam sampel terhadap jenis asli SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, serta BA2 dan dua jenis yang lebih baru, yakni BA4 dan BA5.
Hasilnya, tingkat antibodi pasien yang divaksinasi terhadap strain asli sebanding. Lalu mereka yang menerima tiga dosis vaksin memiliki tingkat antibodi yang secara signifikan lebih rendah terhadap Omicron BA.2, varian BA.4 dan BA.5.
Pasien yang menerima dua atau tiga dosis semuanya memiliki gejala ringan, sementara beberapa pasien yang tidak divaksinasi mengalami gejala parah.
“Data kami menunjukkan bahwa vaksinasi berulang dengan vaksin virus yang tidak aktif meningkatkan kembali ingatan sebelumnya dan meredam respons kekebalan terhadap jenis virus baru yang terkait secara antigen tetapi berbeda,” kata mereka.
Immune imprinting juga menjadi perdebatan di Amerika Serikat untuk menyederhanakan program vaksinasinya. Beberapa ilmuwan mempertanyakan perlunya suntikan tahunan mengingat suntikan ketiga sudah memberikan perlindungan yang baik.
(del/pta)