Transparency International Indonesia (TII) mencatat IPK Indonesia pada 2022 merosot di skor 34 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya. Indonesia menempati peringkat 110 dari 180 negara yang dilibatkan.
Pada level ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura dengan IPK 83, Malaysia 47, Vietnam 42, dan Thailand 36. Indonesia juga tidak lebih baik dari Timor Leste yang menerima nilai 42 dalam skor penanganan korupsi di negaranya.
Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Suyatmiko menekankan situasi tersebut menunjukkan respons kepada praktik korupsi masih berlangsung lambat bahkan terus memburuk akibat minimnya derma kasatmata dari para pemangku kepentingan.
“Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 atau merupakan penurunan paling drastis semenjak 1995,” ujar Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Suyatmiko dalam konferensi pers di Pullman Hotel, Jakarta, Selasa, 31 Januari 2023.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan menyampaikan IPK yang dirilis TII itu memberikan negara masih gagal menaklukkan duduk perkara korupsi di negara ini.
“IPK yang telah dirilis menawarkan negara masih belum bisa dan masih gagal menaklukkan dilema korupsi di negara ini…Muka pemerintah Jokowi tercoreng karena IPK yang merosot separah ini terjadi di pemerintahannya Jokowi,” ujar Nur, Selasa, 31 Januari 2023 malam.
Luhut Vs OTT KPK
Berdasarkan pengamatan Nur, tata cara yang ada ketika ini memang didesain bukan untuk menekan korupsi, tapi justru menyuburkan praktik korupsi di berbagai lini. Hal itu lalu diperparah dengan pemegang kekuasaan yang makin tidak malu untuk memberikan langkah-langkah koruptif.
Nur merinci ada sejumlah faktor utama penyebab IPK Indonesia pada 2022 merosot, di antaranya rancangan penanganan korupsi hari ini dilemahkan di beberapa sisi. Mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang makin dilemahkan sehabis revisi Undang-undang KPK dan berimbas pada kinerja pemberantasan korupsi.
Pencegahan kini menjadi hal yang diprioritaskan KPK. Padahal, kata Nur, itu bukan cara utama dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, penindakan harus dikedepankan untuk menangani tindak kriminal korupsi.
Nur sungguh dongkol dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu yang menilai operasi tangkap tangan (OTT) KPK membuat citra Indonesia buruk.
Nur menentang pernyataan Luhut tersebut karena justru OTT pertanda kesungguhan negara dalam memberantas korupsi. Ketika angkanya tinggi, kata beliau, maka mesti dijadikan refleksi bahwa mutu negara masih koruptif dan menjadi peringatan serius.
Selain itu, Nur mencermati ketika ini banyak penyalahgunaan wewenang para pemegang kuasa. Misalnya, kuasa peradilan yang menjadi sorotan dengan tertangkapnya hakim agung dalam kasus tindak korupsi.
Setuturnya, tidak ada metode kendali yang ideal kepada pelaksanaan peran aparatur negara. Hingga dikala ini, kata dia, belum ada metode yang bisa mencegah tindak korupsi oleh pemegang kuasa atau aparatur negara. Karenanya, urgensi kehadiran metode kontrol ini semakin konkret.
Menurut Nur, acara kemudahan perizinan dan upaya digitalisasi yang pemerintah klaim mampu mengurangi perilaku korupsi itu berjalan namun masih harus terus dikembangkan dan dioptimalkan.
Nur menilai keduanya cuma bagian kecil dari upaya pemberantasan korupsi. Sebab,di luar itu masih terdapat banyak celah tindakan koruptif mirip suap, penyalahgunaan wewenang, dan lainnya.
Belum lagi Indonesia sekarang tengah menyambut tahun politik 2024. Nur menekankan bahwa pemilu dan korupsi politik merupakan faktor yang turut menyebabkan rendahnya IPK Indonesia pada 2022.
“Penyelenggaraan pemilu tidak mampu dihindarkan dari sikap korupsi politik di dalamnya,” kata Nur.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yuris Rezha pun mengamini aspek penyebab turunnya IPK Indonesia pada 2022 adalah korupsi di sektor politik dan rentannya korupsi antara pejabat publik dengan pelaku perjuangan.
“Padahal, pemerintah selalu mempromosikan fasilitas berbisnis, deregulasi perizinan sampai digitalisasi pelayanan publik. Bagaimana mungkin Indonesia disebut menggenjot investasi, di satu segi level risiko korupsi politik dalam berinvestasi makin tinggi. Artinya, ini mengindikasikan adanya kegagalan pemerintah dalam memformulasi dan mengimplementasikan program pencegahan korupsi,” ucap Yuris.