Kisah nestapa tentang sepak bola Tanah Air terus muncul dari waktu ke waktu.
Belum lama ini ini bus pemain Arema FC dilempar oknum suporter. Beberapa saat lalu sejumlah suporter PSS Sleman luka-luka alasannya kena lemparan watu dari dalam bus pemain Singo Edan.
Yang modern yaitu bus Persis Solo dilempar suporter Persita Tangerang sampai kaca pecah dan satu ofisial terluka.
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming dalam cuitan di Twitter mengaitkan serangan itu selaku imbas dari perkara Tragedi Kanjuruhan yang tidak ditangani dengan optimal.
Sejak Liga 1 2022/2023 bergulir kembali pada 5 Desember 2022, kepemimpinan wasit tak membaik. Wasit tak henti-hentinya membuat keputusan kontroversial. Kinerja wasit masih seperti sebelum Tragedi Kanjuruhan.
Jalannya persaingan pun semakin tak terpola. Jadwal pertandingan yang dirancang PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kian acak-acakan. Makin sering pertandingan tak mampu digelar.
Terbaru, pertarungan Arema versus Bali United terpaksa ditangguhkan . Sebabnya, administrasi Arema tak mampu memutuskan di mana pertandingan akan digelar. Arema ditolak main di sejumlah daerah.
Dalam satu pekan terakhir, psikologis pemain Arema betul-betul dihantam kenyataan pahit. Mereka juga korban dari Tragedi Kanjuruhan dan sekarang seolah jadi tersangka yang perlu diadili secara sosial.
Kebencian sepak bola telah faktual. Sepak bola selaku alat perjuangan kiranya sudah hilang di Arema. Sepak bola adalah derita bagi Arema. Dan benih persatuan dari Tragedi Kanjuruhan mulai pecah.
Seperti ada yang dengan sengaja menyulut bara dendam usang. Kisah-kisah perseteruan kala kemudian diungkit kembali selaku padanan pelemparan bus Arema. Sikap benci diciptakan lagi.
Dan nahasnya, Liga 1 gosip terkini ini tak menerapkan promosi degradasi. Ini ditetapkan Komite Eksekutif (Exco) PSSI setelah menghentikan Liga 2 2022/2023 dengan argumentasi yang dibuat-buat seolah masuk nalar.
Kacau balaunya liga: acara awut-awutan, wasit tak jeli memutus insiden, suporter mulai brutal lagi, dan pemain jadi korban metode, menciptakan petinggi PSSI dengan ‘flamboyan’ lepas tangan.
Tragedi Kanjuruhan yang menelan 135 korban meninggal dunia dan puluhan luka-luka serta selebihnya sakit hati dan psikologi sejauh ini sama sekali tidak mengubah sepak bola Indonesia. Sama-sama mati rasa.
Baca kelanjutan berita ini di halaman berikutnya>>>