DATAJAMBI.COM, Jambi – Kekecewaan Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam terhadap KKI Warsi masih membekas. Tidak sejalannya Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD) dengan keinginan orang rimba menjadi akar permasalahan utamanya.
Kebijakan RPTNBD sendiri dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jambi melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi. Kebijakan RPTNBD ini secara umum bertujuan menjaga keberlangsungan dan kelestarian hutan Taman Nasional Bukit Duabelas sekaligus mengatur kehidupan masyarakat adat (Orang Rimba) yang sudah lama mendiami kawasan Bukit Duabelas.
Pada tahun 1984 Gubernur Jambi mengusulkan agar areal Bukit Duabelas dijadikan kawasan pengembaraan Orang Rimba. Usulan itu diterima dalam RTRWP Jambi sebagai cagar biosfer dengan luas 29.485 hektare. Tahun 1987 Cagar biosfer Bukit Duabelas kemudian berubah nama menjadi Hutan Suaka Alam. Pada tahun 1988 kawasan Bukit Duabelas direkomendasikan menjadi kawasan konservasi dengan nama Cagar Alam Bukit Kuaran. Tahun 1993, Bukit Duabelas diusulkan oleh Dirjen PHPA sebagai areal konservasi berupa Suaka Margasatwa.
Tahun 1995, BKSDA Jambi mengusulkan penambahan areal menjadi 30.000 hektare. Dengan alasan, Suaka Margasatwa Bukit 12 mewakili hutan tropis dataran rendah. Kemudian Tahun 2000 atas dorongan LSM WARSI, Gubernur Jambi mengusulkan perluasan areal Cagar Biosfer menjadi 65.000 hektare melalui surat dengan Nomor 525/0496/Perek.
Tahun 2000, tepatnya 23 Agustus 2000 Menteri kehutanan RI mengubah status Cagar Biosfer Bukit Duabelas menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas sekaligus menambah luas arealnya menjadi 60.500 hektare. Kemudian pada Tahun 2001 Presiden RI Abdurahman Wahid mendeklarasikan terbentuknya Taman Nasional Bukit Duabelas.
Sebagai bagian dari Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam, Mijak menyebut bahwa lolosnya RPTNBD memang merupakan proses yang diperjuangkan oleh KKI Warsi. Dengan data yang mereka miliki, dan proses advokasi yang mereka lakukan membuat RPTNBD itu diterbitkan. Tapi isinya tidak pernah mereka inginkan.
Hal itu justru menjadi awal kekecewaan MHA SAD. “Sebelum RPTNBD, Orang Rimba tidak pernah diberitahu, sesudahnya pun tidak ada sosialisasi. Kami awalnya tahu dulu ketika membaca buku RPTNBD, dari situ semua informasinya kami tahu awalnya,” tutur Mijak menceritakan, Sabtu 7 Agustus 2021.
MHA SAD merasa banyak hal yang tertuang dalam RPTNBD tersebut yang berseberangan utamanya soal zonasi. Lebih-lebih, tidak diberitahu dan diberikan sosialisasi lebih lanjut.
“Mereka (KKI Warsi) tidak jujur pada orang rimba dan tidak melibatkan Orang Rimba pada proses RPTN ini,” ujar Mijak.
Sejak itu, Mijak tekun belajar mengikuti beragam pelatihan, mengikuti program kesetaraan hingga paket C. Saat ini ia sedang berkuliah di IAI Muhammad Azim Jambi mengambil jurusan hukum tatanegara. Ia bertekad kuat untuk dapat menyuarakan keluhan anak rimba.
Mijak bercerita, ia terus berjuang dalam proses advokasi yang kini sudah mulai menemukan titik terang. Sudah mulai ada kesepakatan soal zonasi. Ia terus memperjuangkan proses advokasi melalui organisasi yang ia geluti sejak tahun 2004, yaitu Kelompok Makekal Bersatu (KMB). Sejak tahun 2004 hingga tahun 2018 itu, ia bersama orang rimba lainnya pontang-panting berjuang untuk mengubah aturan zonasi yang tertuang dalam RPTNBD. Hingga kini kesalahan dari KKI Warsi di masa lalu masih membekas dan menimbulkan kekecewaan.
“Tahun 2000 akhir, ada antropolog dari Warsi yang memberi kabar bahwa akan ada datang pengajar. Kami bersemangat untuk belajar baca tulis hitung, saat itu Butet Manurung jadi pengajarnya. Hanya bertahan sampai tahun 2003, ternyata Warsi tidak mendukung program pendidikan ini secara berkelanjutan padahal kami sedang semangat-semangatnya. Lalu tahun 2003 itu berdirilah Sokola Rimba itu yang digerakkan Butet Manurung, saya aktif juga sebagai perwakilan dari Orang Rimba di organisasi itu,” ujar Mijak mengisahkan.
Selain masalah ketidakterbukaan KKI Warsi soal RPTNBD itu, Mijak juga menyayangkan program pendidikan yang baru bergulir setengah jalan tidak didukung penuh.