KORUPSI merupakan istilah yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, baik di Koran, televisi dan media cetak maupun media online. Di Indonesia, korupsi telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
Sama dengan Indonesia, banyak negara-negara lain juga memperlakukan korupsi dengan sangat serius karena dianggap sangat berbahaya dan merugikan negara.
Pada tahun 2022, berdasarkan data ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebutkan, potensi kerugian negara pada 252 kasus korupsi dengan 612 tersangka mencapai lebih dari Rp 33 triliun.
Kalau kita lihat data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani tindak pidana korupsi, sudah menangani sebanyak 1.351 kasus tindak pidana korupsi untuk periode 2004-2022 yang mayoritas diisi dengan pejabat publik baik pemerintah pusat dan daerah.
Langkah pemerintah Indonesia dalam menangani kasus korupsi dengan pembentukan KPK sejak tahun 2002 belum mampu sepenuhnya menghapus permasalahan korupsi dari bumi Indonesia ini. Selain itu, bentuk terobosan yang dilakukan dalam membuat efek jera terhadap perilaku tindak pidana korupsi, yakni dengan pencabutan hak politik melalui putusan hakim di pengadilan serta pembatasan hak politik bagi eks narapidana kasus korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (Caleg) sebagaimana tertuang pada Undang Undang Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilu.
Menurut Prof. Marwan Mas selaku pakar hukum anti korupsi, pencabutan hak politik ialah tercabutnya hak politik para pelaku tindak pidana korupsi yang mengakibatkan dirinya kehilangan hak dipilih maupun memilih, terlebih untuk menduduki suatu jabatan publik.
Hukuman ini dinilai mampu untuk menimbulkan sanksi sosial dengan mencabut hak politik para koruptor. Di sisi lain, Indonesia Sebagai negara yang berlandaskan atas hukum, menjamin hak-hak dasar bagi setiap warga negara.
Di antara hak-hak yang mendasar salah satunya sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (3) Undang Undang Dasar 1945, “hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Berdasarkan konstruksi konstitusi tersebut, beberapa pihak beranggapan bahwa pencabutan hak politik terhadap koruptor bukanlah kebijakan yang tepat, bahkan ada yang menilai bahwa hukuman tambahan tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM).
Perbedaan pandangan di atas menjadi sebuah diskursus yang sangat penting dalam upaya pencegahan praktik korupsi di Indonesia. Dilematika pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu dikaji bersama dalam ranah politik, hukum dan ilmu sosial di Indonesia.
Maka dari itu, bagaimanakah politik hukum pencabutan hak politik mantan narapidana tindak pidana korupsi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia?
Upaya pemberantasan korupsi merupakan suatu agenda kebijakan yang perlu diterapkan secara tegas dan luar biasa juga mengingat kasus tindak pidana korupsi ini merupakan tindak pidana yang bersifat luar biasa juga.
Pencabutan hak politik bagi terpidana tindak pidana korupsi merupakan suatu langkah yang dirasa cukup strategis untuk memberikan efek jera terhadap para koruptor yang telah menyalah gunakan kewenangan dan kekuasaan yang pernah dimilikinya.
Landasan hukum terhadap pencabutan hak politik terpidana tindak pidana korupsi dasar-dasarnya telah ada pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu. Vonis pidana tambahan berupa pencabutan   hak dapat membuat jera, karena sesuai dengan tujuan utama pemidanaan di samping  membuat jera pelaku juga bersifat preventif.
Selain itu, pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 tahun 2018 yang menyatakan: “Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena  melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Regulasi yang dibuat KPU sebagai penyelenggara pemilu, menjadi energi positif dalam konstruksi politik hukum sebagai bentuk pencegahan tindak pidana kasus korupsi.
Tetapi di sisi lain juga terdapat kontradiktif dengan peraturan lebih tinggi yang justru menjamin hak konstitusional eks narapidana kasus korupsi dalam Pemilu. Sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 240 Ayat 1 huruf g Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menyatakan bahwa seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa  hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana.
Bagi beberapa pihak, hal ini juga sebagai bagian dari implementasi nilai-nilai penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian, mantan narapidana korupsi pun bisa mencalonkan diri sebagai caleg sepanjang diatur dalam ketentuan UU Pemilu.
Berangkat dari diskursus perbedaan pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa politik hukum pencabutan hak politik dalam jabatan publik bagi mantan narapidana koruptor merupakan langkah yang sudah tepat, walaupun belum maksimal dalam meminimalisir tindakan praktik-praktik korupsi di Indonesia.
Seyogyanya kebijakan ini perlu ditekankan lagi seperti pencabutan hak politik secara permanen bagi mantan narapidana koruptor, sehingga upaya pencegahan korupsi bisa berjalan maksimal, sekalipun kebijakan tersebut dianggap melanggar nilai Hak Asasi Manusia, tetapi dalam implementasinya HAM itu tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUD 1945.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Jambi