TIBA-TIBA tetabuhan jatilan yang ditangap Kang Giyardi pada acara khitanan anaknya irama gendang dan slendro makin keras. Belum lagi suara cemeti terdengar menggelegar di tangan lapangan depan rumah Kang Giyardi.
Debu berterbangan beradu dengan para penari jatilan yang menunggang kuda dari anyaman bambu. Belum lagi Kang Sukir yang menunggang babi dari kulit sapi, menari dengan sangat bersemangat.
Tepuk tangan penonton jatilan yang ditanggap Kang Giyardi, makin riuh saat satu persatu penari jatilan mulai kesurupan, dengan perilaku yang aneh-aneh para penari jatilan bertingkah seperti harimau, bertingkah bak wayang orang, namun gerakannya tetap serirama dengan tetabuhan jatilan.
Mbah Darmo tiba-tiba keluar membawa dupa yang dibakar di baskom seng yang sudah tidak terpakai, Sambil berkeliling membawa asap kemenyan di lokasi jatilan makin menambah suasana jadi jauh lebih magis lagi.
Kang Sukir yang sudah kerasukan terlihat tengah dicambuk di bagian lengan hingga bagian badan, tapi tidak juga merasakan sakit. Kang Tumadi yang memegang pecut terlihat mulai kehilangan tenaganya.
Kang Sukir masih saja enggan disudahi cambukan di badanya, dengan gerakan tegas dan mengikuti irama gamelan Kang Sukir mulai mendekati asap kemenyan yang dibawa Mbah Darmo pawang jatilan grup Krido Budoyo Desa Mekar Sari.
Dengan mata terpejam, Kang Sukir mulai mengisap asap kemenya. Sesekali dengan mulutnya, Kang Sukir memakan kembang yang disiapkan sebagai umbo rampe di atas meja dekat para penabuh gamelan.
Riuh penonton tiba-tiba mulai tidak beraturan, saat Kang Muh yang asyik ikut menonton langsung kejang-kejang dengan mata mendelik ke atas. Sontak saja tubuh kaku Kang Muh digotong ke tengah lapangan jatilan, matanya mulai liar seperti mencari benda yang diinginkan, gerakannya kaku seperti barong dengan gerakan melompat Kang Muh langsung mendatangi topeng Barong yang menyerupai harimau. Tangannya terkepal meminta dipecut, sementara mulutnya menggigit kuat menahan agar kepala barong yang dipakai tidak terjatuh saat berjoget.
Sementara itu di tempat tamu terlihat Kang Jamburi, bhabinkamtibmas yang dikenal dengan dengan warganya tengah asyik ngobrol bersama tapi lainnya, sesekali menyeruput kopi dan diselingi makan camilan keripik pisang yang dihidangkan para peladen di mejanya.
Tapi pandangan matanya mulai agar kabur, suara gamelan seperti terdengar bertalu-talu di dadanya. Tiba-tiba Kang Jamburi seperti ada yang menarik untuk menari di tengah tanah lapang di depan rumah Kang Giyardi, dirinya berusaha kuat untuk tidak ikut hanyut dengan tembang yang dinyanyikan sinden jatilan, begitu juga dengan suara gamelan yang ditabuh para nayogo.
Sesekali masih juga bisa menimpali obrolan Pak RT Takim, dengan obrolan ringan soal makin susahnya warga diajak ronda di dusunnya. Belum lagi soal mulai munculnya klitih di kampung yang melibatkan pemuda dari desa lain. Bahkan ajakan tawuran perah juga dikirimkan ke handphone warganya.
Beberapa kali Kang Jamburi batuk, seperti menahan agar tidak tersedak, baju seragam yang dikenakan Kang Jamburi juga terlihat mulai basah oleh keringat panas.
Tanpa disadari Kang Jamburi mendekati suara tetabuhan, warga yang melihat pak polisi kocak namun tegas banyak yang berteriak meminta agar Kang Jamburi ikut njatil.
Dengan sedikit malu polisi gaul yang dikenal banyak anak muda kampung binaannya, meminta topeng bujang ganong untuk dipakai, Mbah Darmo kemudian mendekati Kang Jamburi untuk melepas semua barang berharga yang dipakai, sebab jika Kang Jamburi kesurupan maka bisa repot jika dompet, ponsel dan juga HT yang dibawa bisa rusak.
Setelah siap Kang Jamburi Langung meminta para penabuh, dan sinden jatilan menyanyikan parikan Turi Turi putih, tubuh Kang Jamburi yang sedikit gempal mulai meliuk menari dengan irama pelan.
Sementara Kang Muh, Kang Sukir mulai ngoceh dengan air yang disiapkan Mbah Darmo, dengan gerakan indah Kang Jamburi makin terlihat piawai menari, suara sorak penonton makin riuh, melihat Kang Jamburi seorang polisi yang bisa njatil, anak-anak berkumpul melihat gerakan Kang Jamburi.
Gelegar cambuk di tangan Kang Tumadi, terdengar sangat dekat di telinga Kang Jamburi, matanya terpejam berusaha melawan agar dirinya tidak terlalu dalam ikut lantunan Gending Turi Turi putih.
Tiba-tiba tubuh ringan Kang Jamburi seperti berada di kebun bunga penuh warna warni, dirinya terlihat asyik menikmati suasana kebun bunga yang belum pernah ditemukan di desa mana pun.
Di ujung kebun bunga, Kang Jamburi melihat ada orang tua sedang memegang gathul (pembersih rumput yang menyerupai cangkul tapi lebih kecil), perlahan Kang Jamburi mendekati orang tua itu.
“Lah Pak Polisi malah ke sini, di kebun saya bukannya keliling melihat warga desa, Kang,” kata orang tua yang memegang Gathul.
“Belum, Pak. Ini ada kebun bunga bagus kok saya enggak pernah lihat ya,” ujar Kang Jamburi penasaran.
Tubuh gempal Kang Jamburi mulai basah dan berusaha untuk duduk dekat dengan pemilik kebun tapi anehnya Pak Tua pemilik kebun seperti acuh melihat Kang Jamburi mendekati dirinya.
“Wes, di situ saja, Pak. Nanti digigit semut lho. Saya baru bersihkan rumput biar bunga yang saya tanam bisa berbunga indah dan harum,” ujar Pak Tua sambil terkekeh.
Sekelebat mata Kang Jamburi, melihat susunan gigi Pak Tua terlihat sangat rapi, bahwa tidak ada aroma bau keringat seperti pada umumnya orang yang tengah membersihkan kebun.
“Kang, bunga yang ditanam ini jenis apa toh, lah dapat bibit dari mana Kang, saya pengen juga nanam di depan pekarangan rumah saya, biar bojoku Sumiati bisa rajin nanam bunga, Kang.”
“Ora usah ditanam Pak, lah wong bunga itu cuma sanepo, orang yang nanam bibit bunga baik, maka sudah pasti bakal panen bunga yang berkualitas baik juga toh, Pak.”
“Ya bener Kang, tapi bunga ini saya belum pernah lihat, bukan cuma di desa ini saja, tapi waktu saya tugas di Aceh juga belum pernah lihat, Kang.”
“Sampeyan itu bisa saja Pak, ini cuma bunga melati putih yang banyak ditanam orang, kebetulan saja cara merawatnya agak beda, sebab saya menyiram bunga ini dengan air yang benar-benar bersih bening dan saya ambil sendiri di sumur dekat rumah saya, Pak.”
“Tapi bunga melati putih ini beda sekali Kang, lembar bunganya agar lebar, bersih dan sangat wangi Kang.”
“Enggak usah dipikirkan Pak,nanti tak bawain bibitnya biar bisa ditanam di rumah sampeyan, njenengan orang yang sangat baik dikenal berjiwa sosial di lingkungan, Pak.”
“Saya juga masih belajar jadi orang baik Kang, paling tidak hidup saya bisa berguna bukan hanya untuk keluarga saja tapi harus berguna untuk lingkungan saya, Kang.”
“Bener Pak Urip kudu urup, biar bisa saling melengkapi, jangan sampai kita jadi sampah masyarakat, tetep jadi tuntunan masyarakat jangan sampai jadi tontonan masyarakat, tidak baik itu, Pak.”
“Njeh Kang, bagaimana pun juga saya berusaha harus jadi contoh yang baik dengan semua kekurangan saya Kang, mbok ya saya diajak ngopi ke rumahmu toh, Kang.”
“Jangan sekarang Pak. Saya juga masih belum siap di rumah belum ada apa apa, wong rumah saya ini agak jauh sedikit dan berjarak beberapa kebun dari sini.”
“Lah ,ini jalan ke kebun saya sangat rapi batunya saja rapi tersusun, belum lagi pagar dari bambunya juga kelihatan masih baru semua kang, warga di sini kompak ya Kang jaga kebersihan.”
“Bukan hanya kebersihan lingkungan saja Pak, tapi bersihnya hati tetap dijaga. Lah wong ke kebun saja bukan cuma bawa gathul saja, ini butiran tasbih tetap digelangkan di tangan biar tetap ingat Gusti Allah Pak.”
“Saya baru sekali ini melihat njenengan, apa warga baru Desa Mekar Sari ya Kang, soalnya jarang saya lihat warga saya di kebun dan memiliki kebun bunga sebagus ini Kang.”
“Sampeyan saja yang enggak hafal saya Pak, sering ketemu kalau pas jumatan di Masjid Desa Mekar Sari, tapi sampean sering khutbah di depan mimbar jadi tidak fokus melihat saya saja, Pak.”
“Modib masjid Kang Iksan saja tidak pernah kasih tagu kalau ada warga baru Kang, ya moga saja apa yang saya wasiatkan di setiap khutbah Jumat saya bisa jadi pengingat ya Kang soal perbuatan baik.”
Rembesan air di baju yang dipakai, serta aroma minyak fanbo dan asap dupa tiba-tiba terasa membuat sesak dada Kang Jamburi.
Sayup-sayup suara Mbah Darmo, Kang Giyardi seperti memanggil, begitu lemas badan gempal Kang Jamburi berusaha didudukkan.
Tanpa sengaja tangan Kang Jamburi mengusap wajahnya, nampak di bekas tapak tangannya bedak warna putih yang disiapkan tuan rumah untuk para tamu yang bawa anak. Katanya biar tidak kena sawan anak sunat ditaburkan di wajahnya.
“Kang Jamburi wes sadar ini, Danyang desa yang merasuki tubuhnya sudah pergi, kipasi biar tidak panas,” kata Mbah Darmo sambil beranjak .
“Oalah Kang, tadi lagi asyik ngobrol sambil ngopi kok ya tiba-tiba Iki njatil, itu Kang Giyardi wes khawatir lihat sampeyan kesurupan lama sekali, ini hampir magrib Kang, Jan sampeyan itu orang yang punya bakat njatil, bakat khotbah bakat semuanya wes,” kata Pak RT Takim.
“Tadi saya bukan kesurupan Kang, perasaan saya malah ke kebun bunga warga sini, rumah sama kebunnya tidak jauh kok, tapi saya lupa jalannya lewat mana ya Kang,” kata Kang Jamburi bingung.
Lamat-mat suara azan terserah dari masjid desa, Kang Jamburi pamit, dengan diiringi sorotan mata bingung Kang Giyardi, Pak RT Takim, tubuh gempal polisi panutan warga terlihat makin menjauh, suara motor dinas Kang Jamburi makin tidak terdengar.
Suara azan usai, tiba-tiba pemberitahuan dari pengeras suara masjid, Kang Jamburi meninggal kecelakaan usai pulang ikut njatil di rumah Kang Giyardi, sisa bedak tolak sawan yang diletakkan di kotak terlihat tinggal sedikit, Kang Jamburi kembali pulang ke rumahNYA usai azan.
Pemenang, 1 Juni 2023