Jambi – Adi Setiadi tak sudi lahan warisan nenek moyang warga Sakean, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muarojambi dikuasai oleh korporasi. Meski terus diterpa berbagai rintangan, namun berjuang bersama warga Sakean demi menuntut hak adalah pilihannya.
Malam itu, Selasa 21 Maret 2023 ratusan masyarakat Desa Sakean terpaksa mundur dari depan pintu gerbang PT Erasakti Wira Forestama (EWF) setelah 4 hari mereka melakukan aksi unjuk rasa menuntut lahan yang diakui warga Sakean sebagai tanah ulayat atau tanah adat.
Dua warga masyarakat Sakean sempat diangkut oleh aparat lantaran ketahuan membawa senjata tajam. Adi tak menepis hal tersebut, menurutnya hal tersebut merupakan sikap warga Sakean yang sudah lelah menuntut haknya dengan berbagai cara.
Jauh sebelum PT EWF bercokol di lahan ulayat warga Sakean, Adi menceritakan, dulunya para tetua, tengganai mereka mencari kehidupan disitu. Mulai dari memancing hingga mengumpulkan hasil hutan.
Namun semua berubah semenjak kehadiran PT EWF, berbagai janji-janji perusahaan seperti akan menyerap tenaga kerja dari masyarakat Sakean pun minim tertunaikan. Janji ternyata hanya sebatas janji.
“Masyarakat Sakean dulu janjinya 60 % bekerja disitu (PT EWF). Jangankan 60 %, Bang, 10 % be idak,” kata Adi Setiadi, Selasa 21 Maret 2023.
Hal tersebut pun kian diperparah semenjak masyarakat mulai bersatu padu memperjuangkan klaim tanah ulayat yang kini dikelola oleh PT EWF. Perusahaan tak segan untuk langsung memberhentikan warga Sakean yang bekerja di PT EWF.
Kini hampir genap 1 tahun masyarakat Sakean terus memperjuangkan klaim tanah ulayatnya, di awal Adi menceritakan kembali awal mula masyarakat Sakena tergerak dan mulai mendemo PT EWF.
“Jadi pertama kami ditanggal 22 April puasa tahun lalu, kami memalukan aksi demonstrasi di wilayah PT, didepan gerbang PT EWF. Di situ kami bermediasi dengan pihak perusahaan. Pihak perusahaan mengelak bahwa tanah ini sudah dibeli dari masyarakat Desa Sakean,” ujar Adi.
Namun PT EWF disebut tak bisa menunjukkkan bukti yang meyakinkan. Melainkan hanya berpaku pada beberapa foto sebagai klaim pembelian lahan kepada masyarkat Sakean.
Adi bahkan dengan gampang membantah foto-foto tersebut, menurut Adi foto yang diperlihatkan oleh pihak EWF kala itu merupakan hasil kesepakatan dengan PT Karya Kumpeh Lestari (KKL). PT KKL juga disebut pernah berkonflik dengan masyarakat Sakean, dan diganti rugi oleh PT KKL.
“Foto-foto ganti rugi dengan masyatakat dijadikan bukti, dalil bahwa EWF telah membeli lahan dari masyarkat,” katanya.
Tak berhenti di situ, masyarakat Sakean kembali demo ke kantor ATR/BPN serta ke Kantor Bupati Muarojambi. Namun tak pernah sampai pada titik terang.
“Tidak pernah sama sekali kita bertemu Bupati. Sekda terus, dan tak pernah ada hasil konkret. Sampai kami juga sudah demo ke Kantor Gubernur,” katanya lagi.
Dalam demo pada Jumat 17 Maret lalu, perwakilan dari Pemkab Muarojambi yang turun ke lokasi untuk melakukan mediasi dengan para demonstran pun tak membuahkan hasil positif. Masyarakat tak terima dan tetap melakukan aksi di depan gerbang PT EWF, Adi menyebut, ya hanya itu-itu saja yang disampaikan dari dulu.
Sementara itu, kuasa hukum masyarakat Sakean, Akur berbicara terkait sengketa lahan kliennya dengan PT EWF, saat ini pihaknya sudah memulai langkah-langkah hukum dengan menggugat PT EWF secara perdata, gugatan teregister dengan perkara No 12/Pdt.G/2023/PN Jmb, sidang disebut akan mulai bergulir pada 28 Maret mendatang.
Akur juga menyebut kembali bahwa secara hukum pihaknya telah melayangkan somasi kepada PT EWF, yang pada intinya PT EFW diminta untuk tidak melakukan aktivitas sebelumnya, namun hal itu diabaikan oleh PT EWF, kliennya pun lantas melakukan aksi pendudukan lahan.
“Nah malam ini terjadi negosiasi difasilitasi oleh pihak Polda Jambi. Masyarkat diminta mundur, bahwasanya nanti di hari Jumat (24 Maret) kita akan dipertemukan dengan pihak perusahaan. Lengkap dengan pihak Pemdanya dengan DPRD Provinsi,” ujar Akur.
“Intinya malam ini kesepakatan kita mundur menunggu hasil pertemuan nanti hari Jumat,” katanya lagi.
Tak hanya itu, melalui negosiasi dengan pihak kepolisian pun berhasil mengeluarkan warga yang sempat diamankan karena demo dengan membawa senjata tajam.
Kesepakatan dengan pihak kepolisian juga, masyarakat diperbolehkan masuk ke areal PT EWF, untuk memancing atau sekadar mengambil Kerutu. Sambil memantau situasi PT EWF apakah tetap beroperasi atau tidak.
Terkait sidang yang akan bergulir pada Selasa, 28 Maret mendatang, Akur menyampaikan akan segera mengambil sikap. Jika EWF tetap beroperasi, maka somasi kedua akan dilayangkan kembali. Masyarkat pun diminta siap untuk kembali melakukan aksi penguasaan fisik.
“Nah itu tadi kesepakatannya,” ujarnya.
Soal kasus yang sedang memanas antara warga Sakenan dengan PT EWF, Akur mengungkap, bahwa kliennya meyakini sebagian wilayah yang dikelola PT EWF saat ini merupakan lahan ulayatnya. Tanah yang dicaplok oleh perusahaan dan masyarkat pun tak merasa pernah menjual tanah tersebut.
“Lebih kurang dalam gugatan itu 2600 hektare itu ada 3 HGU yang ada di sana. Yang mana di sini kita juga diadu dengan peraturan daripada Bupati No 17 tentang batas, kita merasa dizalimi oleh Pemkab Muarajambi,” katanya.
Dimana dalam peraturan Bupati, kata Akur, banyak wilayah desa Sakean yang masuk ke wilayah desa lain. Terutama Desa Lopak Alai dan Desa Tarikan. Hal tersebut pun membuat pihaknya turut menggugat sejumlah pihak.
“Ada 5 pihak yang kita gugat, pertama PT EWF, kemudian BPN, kemudian Presiden dalam hal ini Bupati baru Pemerintah Desa,” kata dia merinci.
“Informasi terakhir Pemdes Lopak Alai sudah berdamai dengan kita, mudah-mudahan nanti Desa Tarikan juga. Jadi tinggal 3 kan yang digugat,” katanya.
Akur pun menolak pesimis terkait gugatannya, karena menurut dia, telah ada hasil pengukuran lahan antara warga Sakean dengan pihak ATR/BPN. Bahwa dalam tanah ulayat warga Sakean itu yang kurang lebih 2.600 hektare sudah terdapat 3 HGU.
“Dalam gugatan warga Sakean kita minta itu (HGU) dibatalkan, kemudian juga Peraturan Bupati No 17 juga dibatalkan. Karna memang sudah pernah pengukuran yang dilakukan mastarakat dengan pihak BPN,” katanya.
Proses penerbitan 3 HGU PT EWF tersebut juga diragukan oleh Akur, menurut dia, segarusnya setiap HGU harus nemiliki plasma.
“Inikan lahan masyarakat, plasmanya tidak ada. Kalau ketentuan soal lahan 20 % untuk plasma itu untuk perpanjangan HGU. Kalau plasma itu minimal 60 – 40 atau 70 – 30. Ini tidak ada masyarakat dapat,” katanya.
Adi Setiadi sang Kolap masyarakat desa Sakean pun optimis pihaknya lewat kuasa hukum akan memenangkan gugatan tergadap PT EWF pada persidangan yang akan datang.
Namun ia masih pesimis jika PT EWF akan mengindahkan somasi kuasa hukumnya. Jika kedepan atau semasa proses persidangan PT EWF masih tetap beraktivitas, ia pun tak menutup kemungkinan tuk melakukan aksi demo ke perusahaan lagi guna memperjuangkan apa yang sebenarnya merupakan hak warga Sakean.